Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba Cak Imin, sebutan akrab Muhaimin Iskandar, mewacanakan penundaan Pemilu hingga tahun 2027. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu beralasan situasi ekonomi nasional masih sulit sekarang ini, ditambah dengan wabah Covid-19 yang belum kunjung membaik. Tak butuh waktu lama, diskursus itu mendapat dukungan dari sejumlah koleganya yang tergabung dalam partai koalisi pemerintah, di antaranya Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto.
Ide yang dikemukakan Cak Imin tersebut mendapat tanggapan serius. Faktor ekonomi melemah dan pandemi segera terpatahkan. Toh, ekonomi nasional tak benar-benar mengalami pelemahan. Justru sejumlah ekonom memprediksi tahun depan ekonomi dalam negeri akan membaik. Pun demikian, meski Covid-19 tak mungkin hilang sepenuhnya, tapi geliat aktifitas sosial-ekonomi masyarakat tak akan berhenti seperti pada masa awal virus ini menyerang.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam rilis terbarunya yang bertajuk “Sikap Publik terhadap Penundaan Pemilu dan Masa Jabatan Presiden” melaporkan, hanya 24,1 persen masyarakat yang setuju perpanjangan jabatan Presiden Jokowi untuk menyelesaikan ekonomi akibat Pandemi. Mayoritas masyarakat atau sebanyak 68,1 persen tidak setuju, dan meminta Jokowi mengakhiri jabatannya pada tahun 2024.
Meski survei yang rilis pada Kamis (3/3) itu menyebut kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi, namun publik lebih memilih supaya Pemerintah Indonesia konsisten dengan aturan konstitusi yang mengatur jabatan Presiden selama 5 tahun, dan bisa tambah satu periode melalui pemilu.
Dengan demikian, suara publik sesungguhnya menghendaki pergantian presiden tetap pada tahun 2024 dan dilakukan melalui pemilu. Sebab, jika ngotot diperpanjang tanpa proses pemilu, itu sama halnya dengan menciderai demokrasi. Perilaku sejumlah elite politik yang demikian itu sama seperti mengingkari konstitusi.
Presiden Jokowi dalam pernyataannya yang dimuat sejumlah media nasional menyebut wacana perpanjangan masa jabatan presiden, dan penundaan pemilu seperti menampar mukanya. Jika tidak demikian, berarti pihak-pihak yang mengusulkan ide tersebut ingin mencari perhatian darinya.
Hanya saja, publik sudah jamak tahu, bahwa pernyataan Jokowi tidak selalu sesuai dengan tindakan. Seperti pada awal kepemimpinannya di periode kedua yang ingin menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi realitasnya justru dia juga yang melemahkan lembaga antirasuah tersebut melalui revisi undang-undang KPK.
Jadi, sebagai rakyat kecil, kita bisa menilai sikap presiden ini apakah benar-benar jujur dari dalam hati ingin menegakkan demokrasi dan konstitusi nasional, ataukah hanya “pemanis di bibir” saja supaya masyarakat tetap diam!! (*)