Sejak didirikannya pada tahun 1912 M, Muhammadiyah tidak pernah berhenti membangun bangsa ini secara khusus dan manusia pada umumnya. Dan sampai hari ini, tidak pernah berhenti membangun manusia secara komprehensif (bio, psiki, sosio, spiritual) melalui rumah sakitnya ,lalu panti asuhan, sekolah-sekolah dari tingkat play group hingga perguruan tinggi, ortom serta lembaga lainnya yang semua tersebar di seluruh penjuru kota di Indonesia bahkan sampai luar negeri.
Dalam konteks secara utuh, yang dilakukan Muhammadiyah adalah membangun manusianya yang semua itu butuh yang namanya hardware. Misal panti asuhan butuh yang namanya rumah sebagai tempat bernaung bagiĀ anak-anak dan pengasuhnya, sekolah dan tempat pendidikan yang kesemuanya juga butuh gedung untuk proses belajar mengajarnya. Lalu rumah sakit yang butuh gedung dan kamar-kamarnya untuk proses perawatan pasien-pasiennya.
Mari sejenak kita menganalisa, kira-kira dari ujung barat sampai timur, dari Sabang sampai Maumere kalaupun tidak sampai Merauke, Muhammadiyah sedang membangun apa saja di waktu yang hampir bersamaan. Maka sambil membaca dan menyeruput teh atau kopi di meja para pembaca kita, atau kalau tidak terdapat apa-apa ya kita lanjutkan saja membacanya sekaligus pengandaian kita.
Pengandaiannya adalah kalau saja ada lembaga khusus yang menangani proses pembangunan hardware-hardware itu. Dan mari kita lanjutkan permisalannya, contoh di sebuah kota (daerah) Muhammadiyah sedang membutuhkan gedung untuk perluasan kampus atau sebuah gedung baru untuk sekolah, yang Rencana Anggaran Belanja (RAB) nya membutuhkan dana sekitar 5 Milyar Rupiah yang dikerjakan oleh kontraktor. Maka pertanyaannya adalah, berapa keuntungan kontraktor dari proyek tersebut? 5% dari RAB? 10%? Atau bahkan 15%?
Kita tidak tahu berapa keuntungannya, tapi yang perlu kita ketahui adalah tidak mungkin kontraktor mengerjakan proyek tanpa keuntungan kecuali salah atau meleset dalam menghitung RABnya. Lalu mari kita bandingkan, misalnya Muhammadiyah mempunyai lembaga khusus untuk menangani hal ini, dan ide dari tulisan ini adalah disini. Contoh, Muhammadiyah membentuk lembaga atau majelis yang khusus menangani pembangunan di lingkup Muhammadiyah, dimana lembaga ini seluruh karyawan dan pekerjanya bisa diambil dari Muhammadiyah, mulai manajer, insinyur sampai tukangnya semua dari Muhammadiyah.
Kemudian dibayar sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya masing-masing, yang tentunya gaji yang dibayar kepada karyawan dan kapasitas yang terlibat sudah masuk dalam RAB. Lalu keuntungan lembaganya dari mana? Keuntungan lembaganya adalah diambil dari RAB, setiap proyek yang dikerjakan lembaga ini secara otomatis lembaga ini mendapat keuntungan misal 5% dari RAB. Jadi realisasi real serapan dari RAB dalam sebuah proyek yang dikerjakan lembaga ini adalah 95% dan 5% nya adalah menjadi hak atau keuntungan dari lembaga tersebut.
Apakah ini tampak tidak adil? Tunggu dulu, dalam sebuah proyek yang keuntungannya 5% dari RAB yang apabila itu di nikmati oleh sebagian kalangan atau perseorangan maka tentu lebih baik keuntungan itu dikembalikan ke Muhammadiyah melalui lembaga itu. Dengan cara apa lembaga itu mengembalikan kepada Muhammadiyah? Setiap 5% yang diperoleh dari proyek yang dikerjakan lalu dikumpulkan dan menjadi aset (nilai) untuk mengerjakan proyek-proyek selanjutnya.
Jadi bisa saja suatu saat Muhammadiyah dan AUM (Amal Usaha Muhammadiyah)nya tidak perlu repot-repot mencari pendanaan untuk mengerjakan proyek-proyeknya. Tetapi perlu dicatat lembaga ini harus ada pengawas dan pengawasannya, sehingga tidak sampai terjadi penyalahgunaan RAB dari sebuah proyek yang telah ditetapkan. Maka jika saja boleh berandai-andai pas ngopi lalu bertemu Pak Haedar Nashir, maka saya akan bilang ke beliau “Pak, bentuklah lembaga, majelis atau apalah yang bergerak khusus menangani pembangunan di lingkup Muhammadiyah atau bahkan jika sudah tumbuh dan berkembang bisa mengerjakan proyek diluar Muhammadiyah. Semacam PT Waskita-nya Muhammadiyah lah, Pak!”. Boleh kan? Namanya juga menyampaikan ide dan berandai-andai pula, syukur-syukur kalau di dengar atau bahkan dilaksanakan.