Kemiskinan DIY; Problem Akut Bagi Lansia, Difabel dan Orang Sakit Kronis

1
779
Penulis : Muhammad Rifaat Adiakarti Farid (Ketua Layanan Lansia Muhammadiyah DIY, Tenaga Ahli Bappeda DIY 2019-2020, Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial)

Daerah Istimewa Yogyakarta kondang sebagai kota pariwisata, kota budaya maupun kota pendidikan. Banyak turis lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke Yogyakarta, banyak pula orangtua yang mengizinkan anaknya untuk menuntut ilmu di Yogyakarta. Belum lagi angka harapan hidup DIY yang lebih baik dari rata-rata Nasional sebesar 74,82, sedangkan harapan hidup Indonesia di angka 71,20. Ditambah pula Yogyakarta menjadi kota yang ramah bagi lansia, mengalahkan beberapa kota besar lainnya akan tetapi di balik itu semua sebenarnya ada problem yang terjadi setiap tahun yaitu tingginya angka kemiskinan.

Kemiskinan ini seakan menjadi rahasia umum yang seringkali dibahas dalam ruang kelas perkuliahan maupun obrolan di warung kopi. Apalagi isu kemiskinan ini seringkali dikaitkan dengan upah minimum yang lebih rendah dibandingkan daerah lain. Pemerintah Daerah bukannya abai terhadap ini, buktinya angka penurunan kemiskinan merupakan salah satu tujuan utama di RPJMD 2017-2022 dengan capaian angka kemiskinan di 7% pada tahun 2022. Walaupun setelah dilakukan penilaian ulang gara-gara Covid 19, capaian angka ini kemudian dirubah menjadi 11,25% di tahun 2022. Data BPS DIY pada Maret 2020, angka kemiskinan di angka 12,28 naik 0,8% dari September 2019 di angka 11,44.

Data BPS pada Maret 2022 persentase penduduk miskin turun menjadi 11,34 persen. Jumlah penduduk miskin pada sebanyak 454,76 ribu orang, turun 19,7 ribu orang terhadap September 2021. Garis Kemiskinan pada Maret 2022 tercatat sebesar Rp. 521.673,00/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp. 378.902,00 (72,63 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp142.770,00 (27,37 persen).

Angka ini kemungkinan bisa bertambah, dengan belum berakhirnya status pandemi Covid 19. Di Indonesia pandemi menimbulkan berbagai kerugian baik materiil maupun immateril, tanpa terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta. Industri pariwisata dan pendidikan yang selama ini menjadi primadona, seakan menjadi lumpuh. Banyak tempat wisata menjadi sepi akibat wisatawan membatasi berkunjung ke Yogyakarta menjadi penyebabnya. Kampus maupun sekolah yang memutuskan kuliah luring juga menyebabkan banyaknya mahasiswa luar daerah yang memilih menetap di daerahnya, tanpa tahu kapan batas waktu bisa kembali ke Yogyakarta juga menyebabkan turunnya angka transaksi ekonomi di masyarakat. Bank Indonesia (BI) Yogyakarta mencatat bahwa akibat adanya kuliah daring selama pandemi, DIY kehilangan transaksi sebesar Rp 623,2 miliar per bulan.

Penduduk Sulit Dientaskan

Angka kemiskinan yang telah disebutkan di atas, data dari Bappeda DIY terdapat 4,06% penduduk yang sulit dientaskan dari garis kemiskinan. Penduduk sulit dientaskan ini adalah penduduk yang mengalami kemiskinan akut. Penduduk yang masuk kategori ini adalah lansia, difabel dan orang yang mempunyai penyakit kronis. Pada tahun 2018, jumlah penduduk yang masuk kategori ini sebesar 154.277 dengan persebaran jumlah lansia sebesar 112.502, jumlah difabel sebesar 10.541 dan orang dengan penyakit kronis sebesar 31.234.

BACA JUGA :  Rilis FITRA Jatim untuk Penanganan COVID-19

Penduduk yang berada di angka 4,06% ini walaupun mendapatkan bantuan dari Pemerintah atau pihak lain tetap saja susah dientaskan. Perda lansia yang mengatur bantuan sosial bagi lansia sudah disahkan dan perlu adanya pengawasan dari masyarakat agar bantuan tepat sasaran. Bantuan sosial ini diharapkan bisa meningkatkan taraf kesejahteraannya dengan berbasis data terpadu. Data lengkap mengenai siapa saja penduduk yang berada dalam kategori ini sebenarnya telah ada dalam Basis Data Terpadu (BDT) 2015.

Lesson Learn Kebijakan

Kemiskinan adalah salah satu isu Suistainable Development Goals (SDGs) sehingga semua pihak seharusnya menyadari bahwa penanggulangan kemiskinan bukan hanya terfokus dilakukan oleh pemerintah semata, tetapi ada juga peran dari akademisi, perusahaan, pihak filantropis maupun pihak lain sesuai kemampuannya masing-masing. Akademisi bisa memberikan rencana, masukan, rekomendasi maupun berkontribusi terkait program penanggulangan kemiskinan ke pemerintah.

Perusahaan bisa mengalokasikan dana CSR bagi masyarakat miskin dengan disokong oleh data dari Pemerintah agar tepat sasaran, begitu juga kaum filantropis bisa membantu sesuai kemampuannya. Perlunya kolaborasi yang erat antara semua pemangku kepentingan agar problem kemiskinan bisa tertanggulangi dengan baik, begitu juga adanya solusi jitu bagi penduduk yang masuk dalam kategori sulit dientaskan. Kebijakan sosial yang ada juga selayaknya memprioritaskan pada hasil, bukan berorientasi pada program anggaran. Apabila orientasi masih pada anggaran, maka para pemangku kepentingan akan berlomba-lomba menghabiskan anggaran agar tidak terjadi silpa (sisa lebih perhitungan anggaran).

Satu yang perlu diingat dalam benak kita bahwa semua orang berpotensi menjadi lansia maupun difabel, kecuali ada udzur lain: meninggal saat usia muda. Semua orang juga berpotensi menderita penyakit kronis kecuali mendapatkan kesembuhan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita tentu saja mengharapkan saat masa itu datang kita sudah siap menghadapinya dan berada dalam taraf sejahtera. (*)

Penulis : Muhammad Rifaat Adiakarti Farid (Ketua Layanan Lansia Muhammadiyah DIY, Tenaga Ahli Bappeda DIY 2019-2020, Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial)

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here