Sengaja saya menampilkan judul tulisan dakwah PWM bukan Muhammadiyah. Hal ini dilatari banyaknya harapan dari jamaah Muhammadiyah di akar rumput terhadap terpilihnya Dr. dr Sukadiono, MM di Musywil ke-16 Ponorogo 24-25 Desember 2022 lalu.
Harapan itu mengemuka dari jamaah arus bawah karena melihat gejala akut yang dilakukan oleh PWM selama ini yang cenderung elitis. Istilah Rihlah Peradaban ke Turki dan Spanyol, membeli gereja tua di Alcala Spanyol, semakin menegaskan bahwa PWM itu miskin empati dan simpati. Semakin menampilkan karakter dirinya yang tumpul akan keberpihakan terhadap AUM di daerah yang sekarat.
Meminjam bahasa Munir Mulkhan, Muhammadiyah semakin lupa terhadap sejarah kelahirannya untuk berpihak dan memihak kaum proletar dan tertindas. Para elit Muhammadiyah secara terang benderang semakin menjadi pendusta agama yang abai terhadap anak yatim, dan tidak perduli terhadap kaum miskin dan lemah.
Tidak ada yang bisa menampik gerakan dakwah Muhammadiyah melintasi sekat-sekat teritorial negara, utamanya yang menyangkut masalah kemanusiaan. Siapa yang meragukan kiprah Muhammadiyah? Di satu sisi rasa bangga menyeruak dan menepuk dada, tetapi di sisi lain miris dan sedih manakala Muhammadiyah lebih responsif terhadap isu-isu Internasional, tetapi cenderung abai dan masa bodoh dengan persoalan lokal yang menderanya tanpa batas waktu. Siapa itu? Karyawan dan honor guru Muhammadiyah yang jauh dari layak.
Faktanya, betapa respon dan progresifnya Muhammadiyah di saat persoalan kemanusiaan mengkoyak-koyak nurani kita. Melalui Lazismu Muhammadiyah begitu gagah dan dermawannya, jika menyangkut persoalan kemanusiaan. Dalil teologi Al-Ma’un menjadi justifikasi dalam membingkai gerakan kemanusiaan itu. Di saat korban bencana dan perang yang memporak poranda Gaza-Palestina tahun 2019, Lazismu Jawa timur mengucurkan bantuan sebesar 9.5 Miliyar sebagaimana dilansir dalam laman lazismu.jatim.org heroik dan fantastis langkah tersebut.
Meski menyayat hati saat karyawan dan guru yang honornya berkisar 300 ribu bahkan kurang. Gejala ini harus segera diamputasi. Jika tidak, kasus berpindahnya 3000 guru Muhammadiyah yang menjadi PPPK akan menggelinding dan akan menjadi bom waktu yang dalam waktu sekejap akan terulang. Lantas para elit Muhammadiyah secara lantang bersuara, ini Pemerintah tidak benar, dengan seenaknya merampas guru yang sudah puluhan tahun mengajar di Muhammadiyah. Puluhan tahun mengajar kok dibayar tidak layak, para elit masih berkelit, sesuai dawuhnya KH. Dahlan hidup-hidupilah jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah.
Seringkali, para elit Muhammadiyah ini menggunakan cara pandangnya sendiri, menyamakan baju dirinya dengan baju orang lain, mengukur orang lain dengan cara pandangnya sendiri. Bahkan logika dangkal digunakan, misalnya jika AUM mau maju dan berkembang, sejatinya para pengelolanya harus inovatif dan kreatif. Lantas apa arti Muhammadiyah sebagai organisasi struktural jika permasalahan selalu dipundakkan terhadap yang memiliki masalah?
Sejatinya jika permasalahan menimpa lembaga pendidikan, maka Dikdasmen melakukan riset, mapping terhadap masalah secara fair di mana hasilnya dikomunikasikan terhadap PDM dan PWM, sehingga melahirkan kebijakan yang fair dan solutif, bukan justru menghakimi pengelola AUM tersebut. Survey yang dilakukan oleh PDPM Ponorogo terhadap lembaga pendidikan dasar dan menengah Muhammadiyah pada 6-11 Januari 2022 lalu dengan jumlah responden 104 guru Muhammadiyah, salah satu hasilnya menunjukan prosentasi gaji berkisar 25.1% Rp. 0-250.000, 31.7% berkisar Rp. 251.000-500.000,. 12,3% 501.000-750.000 8.4% 751.000-1.000.000. itu baru di Ponorogo yang memiliki kampus Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Kita bisa membayangkan daerah–daerah terpencil lainnya di jawa Timur.
Tidak etis para elit Muhammadiyah utamanya PWM jika ke daerah dan memberikan sambutan selalu mengatakan Muhammadiyah kaya, asetnya triliunan, sementara derita kelam para karyawan dan guru Muhammadiyah berada di titik nadir tanpa adanya kebijakan yang riil untuk menyelesaikannya. Saya percaya dan optimis di bawah kepemimpinan Dr Sukadiono dan pimpinan lainnya akan melahirkan PWM yang lebih memihak dan responsif terhadap aneka persoalan yang menimpa Muhammadiyah dan AUM yang ada di daerah.
***
Program akselerasi dibidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi sebagaimana komitmen Dr Sukadiono tak hanya sebagai gegap gempita dan selebrasi Musywil 16 di Ponorogo, tetapi menjadi aksi nyata dalam program kerja. PWM yang memihak dan banyak turba diidamkan oleh jamaah Muhammadiyah yang ada di daerah. PWM turba itu sebagai salah satu program untuk melihat langsung permasalahan di daerah, bukan menunggu diundang oleh daerah sebagaimana disampaikan oleh satu pengurus PDM di wilayah Tapal Kuda. Akhiri melalang buana ke luar negeri, tetapi enggan untuk melihat situasi langsung persoalan yang ada di daerah. Semoga! (*)
Penulis : Abdus Salam, M.Si, Direktur Kedai Jambu Institute