Politik dan Kontestasi

0
6599
Ilustrasi by Geotimes

Banyak yang menyebut tahun ini adalah tahun politik, seolah-olah tahun sebelumnya tidak berisi dialektika dan keputusan politik. Padahal setiap harinya kita berpolitik. Keberadaan lembaga-lembaga politik dalam kehidupan bernegara pastilah meniscayakan adanya kehidupan politik.

Namun, kita mafhum bahwa sebutan ini merujuk pada momentum Pemilu 2024 mendatang. Situasi dan interaksi para elit politik semakin dinamis, berbagai spekulasi politik pun terus bergulir. Setiap partai politik bersiap diri, mengambil posesioning, memanaskan mesin politik masing-masing.

Mengukur kekuatan diri kawan dan lawan, sekaligus saling menjajaki dan memetakan kekuatan kekuatan yang ada. Sebuah pemandangan yang lazim dalam kehidupan politik di tanah air menjelang digelarnya pesta demokrasi lima tahunan.

Pemilu adalah mekanisme yang telah disepakati bersama sebagai upaya melakukan pergiliran kekuasaan, agar ia tidak menjadi monopoli satu pihak atau satu kelompok politik semata. Ia juga menjadi ruang agar koreksi selalu terjadi sehingga pengunaan kekuasaan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Inilah esensi demokrasi yang sejak era modern lahir telah menjadi antitesis dari sistem kekuasaan, yang sebelumnya dimiliki kelompok politik atau golongan tertentu.

Pemilu menjadi mekanisme yang dibangun sedemikian rupa, sehingga pergantian kekuasaan tidak menjadi jalan perwarisan atau jalan perebutan yang disertai kekerasan. Walhasil, demokrasi adalah jalan pergantian pemegang kekuasaan yang mensyaratkan adanya kedewasaan sikap dan rasionalisasi nalar dari para pelakunya.

Di sisi lain, kekuasaan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik. Ia bahkan menjadi ekspresi dominan dari politik. Saking identiknya, politik selalu terasosiasikan sebagai segala sesuatu terkait dengan kekuasaan kenyataan ini tidak bisa kita salahkan.

Dalam upaya memanifestasikan idealitas yang dimiliki oleh setiap kelompok politik, kekuasaan memang menjadi keniscayaan, sebab tanpa kekuasaan mustahil kiranya sebuah program politik bisa direalisasikan. Lewat politik lah tawaran-tawaran gagasan dan pemikiran dalam sebuah konteks kehidupan bersama tersalurkan ibarat tubuh manusia. Kehendak untuk mencapai sebuah tujuan dipersyarati dengan kuasanya raga berjalan dan jiwa yang sadar.

Orientasi kekuasaan adalah keniscayaan dalam berpolitik. Hanya saja, cerita tentang kekuasaan ini memang kerap melahirkan berbagai ekses dan residu, yang paling lekat adalah konflik dan perselisihan. Dalam sejarahnya kekuasaan memang tidak bisa dipisahkan dari siasat, intrik, muslihat, bahkan jarang pertumpahan darah. Terlebih dalam karakteristik kekuasaan yang masih cenderung despotik.

BACA JUGA :  Rekonstruksi Aswaja sebagai Pemberdaya Umat

Demokrasi dipilih untuk memoderasi hal tersebut dalam demokrasi, sistem kekuasaan diatur sedemikian rupa sehingga terjadi perimbangan dan sirkulasi kekuasaan. Peralihan kekuasaan pun diatur sedemikian rupa sehingga terjadi secara berkala dan diselenggarakan secara terbuka sehingga memungkinkan bagi setiap pihak memiliki kesempatan yang sama. Namun, dalam sistem yang demikian pun masih kerap terjadi kondisi yang tidak fair dan perilaku yang menyeleweng.

Kondisi yang tidak fair merujuk pada adanya pelbagai ketentuan, yang membuat pihak-pihak tertentu tetap tidak bisa terlibat dalam kompetisi demokrasi. Tentu yang dimaksud ketentuan disini adalah ketentuan yang menyalahi prinsip demokrasi itu sendiri. Namun, yang demikian ini adalah relatif adanya. Sebab, adanya ketentuan dalam sebuah kempetisi lumrah adanya.

Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah mencoba menyiasatinya agar kondisi yang kurang fair ini bisa digeser sedekat mungkin ke kondisi yang lebih fair. Misalnya hak mencalonkan diri sebagai presiden adalah hak seluruh warga negara. Namun, realita politik yang ada membuatnya ekslusif bagi kalangan tertentu saja. Ketua umum partai, pejabat publik, menteri, kalangan berduit, kepala daerah dan seterusnya.

Dalam hal ini, konvensi adalah salah satu upaya demokratisasi dan moderasi hal tersebut. Ia menjadi cara untuk menyiasati agar kesempatan menjadi lebih terbuka bagi seluas-luasnya untuk kalangan yang merasa mampu untuk menjadi calon pemimpin negeri.

Adapun pelaku yang dipandang menyeleweng dalam kontestasi demokrasi merujuk pada penggunaan segala cara demi tercapainya kemenangan dan kekuasaan, alih-alih mewujudkan proses pemilihan yang fair dan bermartabat, praktik penyelewengan ini hanya membuat proses peralihan kekuasaan bernuansa perebutan kekuasaan.

Pemilu pun tidak menjadi ruang bagi terlaksananya sirkulasi kekuasaan yang demokratis melainkan ajang adu siasat dan kelicikan berkompetisi. Alih-alih menjadi ruang pendidikan politik, Pemilu hanya sebagai ajang perselisihan dan konflik. Hingga pada akhirnya, pemilu bukan lagi bagian dari upaya mencari solusi atas problematika bangsa, akan tetapi malah menjadi problem baru bagi negara.

Bagi bangsa Indonesia, Pemilu merupakan ajang peralihan kekuasaan yang dinilai paling demokratis. Tantangannya adalah bagaimana mewujudkan Pemilu yang berkualitas dan berintegritas. Perlu kedewasaan berpolitik dari semua pihak. Pemerintah, penyelenggara, peserta maupun pemilih atau masyarakat secara umum. (*)

Penulis : Darmanto Saputro (Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Ponorogo)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here