Napak Tilas Sejarah Politik Sepak Bola Indonesia Era Soekarno

0
6142
Penulis : Yana Syafriana Hijri, S. IP., M. IP. (Peneliti RePORT Institute & Direktur Eksekutif Bale Renaissance)

Sebagaimana sebelumnya, sepak bola tanah air di era Soekarno tetap berkelindan erat dengan situasi politik nasional. Olah raga mengalami masa surut di bawah kolonialisme Jepang. Saat itu, PSSI dibekukan, sedangkan sepak bola dimasukkan dalam suatu badan olah raga bernama Tai Iku Kai. PSSI diaktifkan kembali setelah Indonesia merdeka. Tepatnya pada tahun 1946 melalui Kongres Pengurus Olah Raga Republik Indonesia (PORI).

Setelah merdeka, sepak bola turut ambil bagian dalam proses nation building di masa-masa awal negara Indonesia. Kongres XII PSSI yang bertajuk “reincarnatie” pada 26-28 Agustus 1950 di Semarang memutuskan untuk mengganti singkatan lama dengan nama baru, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Terpilih R. Maladi sebagai Ketua. Mantan kiper legendaris itu dipilih juga sebagai upaya menciptakan poros hubungan Jakarta-Beijing pasca Perang Dunia II. Suatu upaya diplomatik yang kemudian lazim disebut “One China Policy.“

Presiden Soekarno adalah salah satu tokoh yang getol membangun nasionalisme melalui sepak bola. Dia diilhami oleh pengalaman pahitnya sendiri. Saat masih anak-anak, Soekarno memiliki ketertarikan dengan sepak bola. Dia pernah mendaftar ke salah satu tim tetapi ditolak lantaran inlander. Dia pun tidak memiliki banyak kesempatan bermain bola karena anak-anak Belanda tidak ada yang sudi bermain dengannya. Pengalaman demikian membentuk cara pandangnya, bahwa sepak bola tidak pernah lepas dari pengaruh situasi sosial-politik.

Pemikiran Soekarno berkesesuaian dengan tiga Ketua Umum PSSI di eranya sebagai Presiden Indonesia, yaitu R. Maladi, Abdulwahab Djojohadikusumo dan Maulah Saelan. Bagi mereka, olah raga tidak sekedar untuk olah raga. Di tangan mereka PSSI difungsikan sebagai alat negara, untuk mengkulminasi semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dan menempa atlet-atlet bangsa untuk berprestasi di kancah internasional.

PSSI harus menjadi sarana kampanye dalam menunjukkan eksistensi dan kebesaran suatu bangsa. Dengan begitu, negara-negara imperialis tidak lagi memandang rendah bangsa Indonesia.
Soekarno menegaskan pemikirannya melalui Dekrit Presiden 17 Agustus 1959. Dekrit tersebut berisi sebuah manifesto politik yang mewajibkan perjuangan bangsa di seluruh aspek kehidupan diselaraskan dengan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional (Manipol Usdek).

Dekrit tersebut menempatkan sepak bola dan semua komponen lainnya berjalan beriringan dengan cara dan ranahnya masing-masing, dan memiliki titik temu dalam rangka mewujudkan revolusi nasional. Sehingga pada Kongres PSSI tahun 1964 diputuskan untuk menyatukan diri dengan dasar perjuangan tersebut.

Ganefo, Olimpiade Kiri Indonesia.

Pemikiran tersebut membawa Soekarno mencetuskan Games of New Emerging Forces (Ganefo). Ganefo dilatar belakangi oleh pembekuan keanggotaan Indonesia oleh International Olympic Committee (IOC) pada 7 Februari 1963. Sanksi ini merupakan buntut dari penolakan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games (AG) tahun 1962, terhadap keikutsertaan Israel dan Taiwan. Indonesia menolak atas pertimbangan beberapa hal.

Pertama, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan kedua negara. Kedua, Taiwan menyumbangkan persenjataan bagi pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Tiongkok juga secara langsung meminta Indonesia menolak keikutsertaan Taiwan. Dan penolakan ini sebagai bentuk terimakasih terhadap Tiongkok yang telah membantu Indonesia dalam perebutan wilayah Irian Barat.

Serta ketiga, penolakan terhadap Israel untuk menunjukkan solidaritas bagi perjuangan negara-negara Arab, utamanya Palestina. Akibat sikap ini IOC menolak hasil AG dengan dalih olah raga semestinya dipisahkan dengan kepentingan politik Indonesia. Guru Dutt Sondhi, Wakil Presiden Asian Games Federation (AGF), bahkan menuntut persoalan ini di meja sidang IOC di Lausanne, Swiss. Maladi kemudian diutus menghadiri persidangan. Di situ dia mengecam bahwa IOC “menutupi maksud jahat dari kaum imperialis untuk mendominasi dan memonopoli dunia sport internasional.“

BACA JUGA :  Salah, Khabib, dan Islamophobia

Maladi kemudian membandingkan sikap Indonesia dengan penolakan Belgia terhadap keikutsertaan Jerman di Olimpiade Antwrapen 1920, Republik Demokratik Jerman yang tidak mendapatkan visa dalam Kongres FIFA di London pada tahun 1961, dan skorsing IOC terhadap Tiongkok dalam Olimpiade Helsinki 1952. Semua kasus tersebut berawal dari penolakan beberapa negara, namun IOC tidak memberikan sanksi yang serupa dengan Indonesia.

Maladi melanjutkan, alasan IOC bahwa olahraga adalah tidak ada sangkut pautnya dengan politik merupakan sebuah kebohongan. Sidang itu kemudian memutuskan membekukan keanggotaan, dan larangan bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam kejuaraan IOC, dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Menyikapi keputusan tersebut, Soekarno justru memerintahkan Maladi, yang saat itu telah menjabat Menteri Olah Raga, untuk keluar dari keanggotaan IOC.

Dia juga meminta untuk segera menyiapkan Ganefo dan mengundang partisipasi negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara sosialis lainnya. Soekarno lantas mengkritik Statuta IOC yang menempatkan negara hanya sebagai fasilitator dan penyuplai pendanaan kejuaraan. Dia kemudian menegaskan bahwa Ganefo harus diselenggarakan berdasarkan prinsip Konferensi Asia-Afria (KAA) yaitu anti Neokolonialisme, Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim).

Sebab itu Ganefo juga tidak boleh lepas dari isu-isu geopolitik yang saat itu terjadi di Kalimantan Utara, Vietnam, Kamboja, Laos, Tiongkok, Korea, Angola, serta. Olimpiade kiri tersebut kemudian berhasil diselenggarakan secara baik di Jakarta pada tahun 1964 dengan diikuti 51 negara. Saat kejuaraan berlangsung, terjadi beberapa peristiwa, yang menunjukkan semangat Ganefo berhasil tersalurkan.

Atau justru sebaliknya, membuktikan kekhawatiran bahwa negara-negara imperialis akan berupaya menghancurkan soliditas Ganefo; Pasukan gerilya Front Pembebasan Nasional Vietnam berhasil menyita satu pesawat Amerika Serikat (AS) yang berisi dua pilot dan empat tentara; Kawasan Haushabi, Yaman, diserang oleh pasukan jet tempur Inggris; Oman secara terbuka menyatakan keinginan merdeka dari kolonialisme Inggris; AS mengancam menarik dana pinjaman untuk Mesir, tetapi Presiden Gamal Abdul Nasser menyatakan setia mendukung upaya Indonesia; dan Presiden Argentina Arturi Illis membatalkan kontrak dengan perusahaan-perusahaan minyak AS, Italia dan Inggris.

Kelahiran Ganefo sebetulnya memiliki persamaan situasi dengan penolakan kedatangan Timnas Israel ke Indonesia dalam perhelatan Piala Dunia U-20 tahun 2023. Yang membedakannya adalah langkah yang dilakukan pemerintah dalam menangani kasus penolakan Timnas Israel. Buntut dari penolakan Timnas Israel pada Piala Dunia U-20 2023 direspon FIFA dengan membatalkan status Indonesia sebagai tuan rumah dan pembekuan bantuan pendanaan dari program FIFA Forward.

Ganefo justru memberikan bukti sahih bagaimana pemerintah dan PSSI berhasil menyelamatkan martabat bangsa dalam ekosistem olah raga internasional. Ganefo juga berhasil menggalang solidaritas kekuatan negara-negara yang baru merdeka. Ganefo bukan tanpa cacat karena hanya berhasil diselenggarakan selama tiga kali. Olimpiade kiri yang dicetuskan Soekarno ini berakhir seiring dengan gejolak sosial-politik dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. (*)

Penulis : Yana Syafriana Hijri, S. IP., M. IP. (Peneliti RePORT Institute & Direktur Eksekutif Bale Renaissance)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here