Menjawab Komentar Miring Tentang Perbedaan Idul Fitri Muhammadiyah 2023

0
6842
Penulis : Heri Rifhan Halili (Anggota ADMI (Asosiasi Doktor Muhammadiyah Indonesia)

Perbedaan pelaksanaan Idul Fitri tahun ini tak bisa dihindari. Perlu kedewasaan dan sikap bijak untuk terus saling memahami dan menjaga harmoni. Tapi dari beberapa hari terakhir kembali bermunculan komentar miring terkait pilihan ijtihad Idul Fitri Muhammadiyah

Jika sebelum-sebelumnya mempersoalkan dalil-dalil ijtihad Muhammadiyah dalam menggunakan konsep hisab haqiqi wujud hilal, maka setelah banyak dijawab melalui artikel-artikel tegas dan ilmiah oleh teman-teman Muhammadiyah, sekarang nampaknya ada sedikit “kemajuan” pada komentar miring berikutnya.

Yakni tidak lagi mempersoalkan dalil ijtihad Muhammadiyah, dan telah mengakui bahwa ini adalah perbedaan pendapat di antara para ulama, tapi komentar miring saat ini berlanjut pada kalimat berikutnya: “Memang perbedaan Idul Fitri itu ijtihad dengan dalil masing-masing ulama, tapi bukankah ada kaidah fiqih bahwa keputusan hakim (Pemerintah) itu menghilangkan semua perbedaan pendapat?”

Mari kita urai kaidah fiqih yang dimaksud: Hukmul hakim yarfa’ul khilaf. Keputusan hakim (Pemerintah) menghilangkan perbedaan pendapat.

Pertama: Siapa hakim (Pemerintah) dalam hal ini? Apakah Menteri Agama? Menko Polhukam? Ataukah Wakil Presiden dan Presiden?

Apakah juga keputusan Pemerintah yang dimaksud dalam kaidah fiqih itu adalah setingkat keputusan Menteri? Atau Undang-Undang? Atau bahkan Undang-Undang Dasar?

Hal ini perlu kita urai, karena Pemerintah sendiri pun sebenarnya tidak ada yang memberi keputusan mutlak yang mewajibkan untuk mengikuti ketetapan 1 Syawal sesuai Pemerintah.

Lihatlah apa yang disampaikan Menteri Agama sendiri, bahwa keputusan pemerintah tentang Idul Fitri tidak berarti mewajibkan semuanya mengikuti pemerintah, dan bahkan Menag sendiri menghimbau saling toleran dalam perbedaan, sampai juga menghimbau pemerintah daerah di seluruh Indonesia untuk memberikan izin penggunaan fasilitas/lapangan pemerintah jika akan digunakan oleh Muhammadiyah untuk kegiatan sholat Idul Fitri (lihat di: https://www.youtube.com/watch?v=pKS2mTZuQI8).

Begitu pula Menko Polhukam yang mengkoordinatori beberapa Kementrian di bawahnya, telah menghimbau kepada semua Pemerintah Daerah memberikan izin jika ada lapangan milik Pemerintah yang akan digunakan oleh Muhammadiyah untuk menggelar sholat Idul Fitri 2023.

Hal ini disampaikan oleh Mahfud MD, “Pemerintah mengimbau fasilitas publik seperti lapangan yang dikelola pemda agar dibuka dan diizinkan untuk tempat salat Idul Fitri jika ada ormas atau kelompok masyarakat yang ingin menggunakannya. Pemda diminta untuk mengakomodasi. Kita harus membangun kerukunan meski berbeda waktu hari raya,” cuit Mahfud dalam akun Twitter pribadinya, @mohmahfudmd, Selasa, 18 April 2023. (Baca berita lengkapnya: https://nasional.tempo.co/read/1716318/mahfud-md-imbau-pemda-izinkan-ormas-gunakan-fasilitas-publik-untuk-salat-idul-fitri)

Sebelumnya, memang sempat ramai diberitakan tentang Pemkot Pekalongan dan Sukabumi yang tidak memberikan izin lapangannya digunakan untuk kegiatan sholat Idul Fitri oleh Muhammadiyah. Padahal sebelum-sebelumnya telah biasa kedua lapangan Pemerintah Daerah tersebut digunakan oleh warga Muhammadiyah untuk melaksanakan Idul Fitri. (baca: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpr5r7yljzgo).

Bahkan Wakil Presiden RI juga menyampaikan himbauannya untuk saling menghargai perbedaan Idul Fitri.

“Maka, yang ditempuh adalah adanya sikap bisa toleransi antara dua kelompok ini untuk masing-masing. Ya Lebaran sesuai dengan keyakinannya, dengan hitungannya. Jadi, bahasa Jawanya legowo,” pinta Wapres dalam kesempatan konferensi pers seusai menunaikan ibadah salat Jumat, di Masjid Agung Baiturrahman, Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Jumat siang (14/04/2023).

Jadi jika ada yang mempropaganda seolah Muhammadiyah tidak mengikuti keputusan Pemerintah, pertanyaannya keputusan Pemerintah yang mana? Bukankah telah sangat jelas dan tegas keputusan Pemerintah dalam hal ini yang langsung dinyatakan Menteri Agama, Menko Polhukam, Wapres RI adalah menghimbau untuk menghargai perbedaan Idul Fitri? Inilah keputusan Pemerintah. Keputusan untuk saling menghargai!.

Jika yang dimaksud adalah keputusan hasil sidang isbat Kementrian Agama (Kemenag) RI tentang penetapan tanggal Idul Fitri, maka hal ini seperti yang telah disinggung sekilas di atas bahwa Menteri Agama sendiri sebenarnya dalam keputusannya tidak mengharuskan/mewajibkan untuk beridul fitri sama dengan Pemerintah.

Kemenag hanya menyampaikan apa yang menjadi pilihan keputusan tanggal Idul Fitri yang dipilih Kemenag berdasarkan metode yang dijadikan dasar, sekali lagi tidak disertai dengan mewajibkan semua warga bangsa yang beragama Islam harus mengikutinya. Kenapa? Karena memang aturan Pemerintah yang lebih tinggi dari Keputusan Menteri Agama tentang sidang isbat tersebut yaitu UUD Pasal 29 Ayat 1 dan 2 menyebut bahwa: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

BACA JUGA :  Surat Audiensi Dilayangkan Warga pada Pemdes Kutorejo Nganjuk

Bahkan kalau kita lihat dalam keputusan Menteri Agama pada tahun 1971, pernah disebutkan secara tegas tentang hal ini dalam Keputusan Menteri Agama No. 62 Tahun 1971 yang berbunyi: “Pertama: Awal puasa tanggal 1 Ramadan 1391 H dengan istikmal jatuh pada hari Kamis tanggal 21 Oktober 1971; Kedua: Bagi Ahli Hisab serta mereka yang mempercayainya dapat menunaikan ibadah puasa sesuai dengan keyakinannya”.

Kalimat penegasan ini memang tak lagi dinyatakan tertulis pada Keputusan Menteri Agama saat-saat ini, tapi dengan tanggapan dan pernyataan langsung Menteri Agama, Menko Polhukan, bahkan Wapres RI yang telah dijelaskan di atas, hal tersebut telah mencukupi bahwa keputusan Pemerintah tegas menghimbau untuk saling toleransi karena Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing.

Point kedua: kepada mereka yang sekarang menjadikan dasar kaidah fiqih Hukmul hakim yarfa’ul khilaf: keputusan hakim/pemerintah menghilangkan perbedaan pendapat, untuk mempersoalkan Idul Fitri Muhammadiyah, penulis hanya ingin mengingatkan bahwa dalam prakteknya banyak sekali keputusan Pemerintah yang tidak diikuti oleh pemahaman-pemahaman Islam di Indonesia, tidak hanya oleh Muhammadiyah, tapi juga oleh ormas Islam atau paham Islam lainnya di Indonesia.

Contoh: kemana kaidah fiqih tadi saat Pemerintah melalui Kementerian Agama lebih mengambil pendapat bahwa miqot bisa juga di Bandara King Abdul Aziz? Bukankah ada pula pemahaman agama di Indonesia (di antaranya mereka yang saat ini berkomentar miring tentang perbedaan idul fitri Muhammasdiyah) yang mereka juga menolak tentang miqot yang menjadi pendapat pemerintah melalui kemenag itu? Dan mereka lebih mengambil pendapat yang diyakininya bahwa tidak sah miqot di Jeddah dan harus membayar dam?

Kemana kaidah fiqih tadi, saat bahkan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam menyatakan talaq baru sah jika diucapkan di depan hakim di pengadilan? Banyak sekali pemahaman keagamaan di Indonesia (sekali lagi termasuk mereka yang berkomentar miring bahwa Muhammadiyah tidak mengikuti keputusan Pemerintah) yang mereka ini juga tidak setuju dengan aturan Pemerintah tentang talaq tersebut, dan lebih mengambil pendapat yang diyakininya bahwa ucapan talak sah diucapkan suami walau tidak di pengadilan?

Padahal kalau mau diurai lebih jauh, Undang-Undang Perkawinan dan KHI lebih tinggi secara hierarki peraturan perundangan-undangan di Indonesia dan mengikat dari “sekedar” keputusan Menteri. Artinya yang tidak mentaati dalam hal ini bisa dianggap lebih tidak patuh Pemerintah daripada sekedar Muhammadiyah tidak mengikuti keputusan Menteri Agama agama tentang 1 Syawal jika mengikuti pola pikir saklek mereka yang gemar berkomentar miring tentang ijtihad perbedaan Idul Fitri Muhammadiyah.

Tentu akan muncul lagi banyak alasan yang akan disampaikan setelah mereka yang begitu senang berkomentar miring tentang Ijtihad idul Fitri Muhammadiyah setelah membaca tulisan ini. Yang sebenarnya penulis dan teman-teman Muhammadiyah lainnya juga bisa lebih menjawab lagi alasan-alasan mereka. Tapi jika terus saling berdebat dalam masalah ini, mau sampai kapan?

***

Pada kesimpulan akhirnya, Muhammadiyah berpendapat bahwa perbedaan 1 Syawal adalah masalah ijtihad yang tidak boleh saling mengingkari, Muhammadiyah mengajak untuk saling menghargai perbedaan pendapat dalam masalah ijtihad ini.

Bagi Muhammadiyah, lebih berguna energi kita jika digunakan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, berkontribusi pada negeri melalui pendidikan dengan membangun ribuan sekolah dan perguruan tinggi untuk ikut mencerdaskan anak bangsa, membangun panti asuhan untuk menampung fakir miskin dan anak-anak terlantar, melakukan aksi nyata tanggap bencana, membangun rumah sakit-rumah sakit untuk menyelamatkan ibu dan bayi yang dilahirkan, mengobati mereka yang sakit yang begitu membutuhkan akses layanan kesehatan di pelosok negeri. Inilah jalan Muhammadiyah, jalan amal dan karya yang nyata, membangun negeri, umat, dan bangsa, bukan sibuk berdebat dan mencela.

Selamat idul Fitri 1444 H. Semoga Allah menerima ibadah puasa kita. (*)

Penulis : Heri Rifhan Halili (Anggota ADMI (Asosiasi Doktor Muhammadiyah Indonesia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here