Oleh: Hasnan Bachtiar*
PIJARNews.ID – Istilah stomme hond bermakna sangat buruk. Yakni “anjing goblok.” Kata-kata ini hanya diungkapkan sebagai kecaman, ketika seseorang merasa terlalu jengkel.
Di Indonesia, kecaman ini diteriakkan oleh seorang profesor hukum ternama: Jacob Elfinus Sahetapy. Ia menghunuskan pedangnya, ketika hendak menyerang para penguasa zalim. Terutama, yang terjerat kasus korupsi.
Menstempel wajah orang dengan stomme hond, sama sekali bukan bermaksud merendahkan martabat kemanusiaannya. Tentu saja, ini lebih merupakan penghakiman terhadap tingkah laku yang justru mencederai kemanusiaan. Karena segala jenis korupsi, pasti merugikan publik. Dan segala perilaku yang merugikan ini, adalah kemudaratan. Sementara itu kemudaratan, berarti dehumanisasi.
Di dalam kitab suci sendiri, nada caci maki kerap diungkapkan. Itu semua dalam rangka mengecam perilaku manusia yang sudah keterlaluan, melampaui batas dan bersifat kebinatangan. Tidak heran jika istilah, “mereka seperti binatang dan bahkan lebih buruk lagi” diwacanakan secara terbuka. Ini adalah kecaman yang serius terhadap dehumanisasi.
Bagaimana membaca dehumanisasi dalam kehidupan dewasa ini? Ketika masalah kehidupan sosial, politik dan ekonomi, – juga tentu merambah masalah kebudayaan – di negeri ini belum terselesaikan, para elit politik malah gemar membuat masalah baru dan merayakannya dengan gegap gempita. Ini jelas sebagai dehumanisasi.
Lihatlah, apakah masalah kemiskinan diselesaikan? Atau setidaknya mereka mencoba untuk memikirkan jalan keluarnya? Belum lagi masalah dampak krisis kemanusiaan oleh karena kemiskinan. Seperti misalnya kelaparan, kebodohan massal, konflik sosial dan lain sebagainya. Apakah program pembangunan pemerintah mampu menjawabnya? Untuk menghindari menyebut tidak, mereka bisa mengajukan seribu alasan yang lari dari kenyataan.
Kata pembangunan dan membangun itu sendiri, tidak pernah dirumuskan secara otonom dan berdaulat. Kita sendiri (lebih tepatnya mereka, para penguasa), tidak pernah peduli dengan pentingnya membangun. Mereka, lebih suka meminjam standar orang lain, yang justru jauh dari standar.
Akhirnya, standar ini pun tidak mampu lagi secara akurat menafsirkan apa yang dimaksud dengan “miskin”, “orang miskin” dan “pengentasan kemiskinan”. Artinya, program-program pembangunan yang selama ini ada, tidak ada hubungannya dengan masalah kesengsaraan umum yang diderita rakyat. Terutama rakyat melarat. Tentu saja, dalam pengertiannya yang paling konkret dan material.
Yang mengherankan, para elit lebih suka berebut kekuasaan yang sebenarnya hampa makna. Ketika mereka meraihnya, apakah kemudian mampu memikirkan atau memberikan kontribusi yang terbaik bagi pembangunan?
Seperti ungkapan WS Rendra, pada akhirnya, pembangunan hanya menjadi takhayul belaka. Tidak pernah ada yang disebut dengan pembangunan itu. Bahkan, istilah “mengentaskan kemiskinan” dan “memihak kaum miskin” sudah dijadikan sebagai komoditas yang laris manis untuk kepentingan yang picik dan serakah.
Belum lagi para penguasa ekonomi di negeri ini, gemar sekali menggunakan jargon membangun, memihak, mengentaskan kemiskinan dan seterusnya. Tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa, mereka turut membantu mengentaskan kemiskinan. Kecuali hanya omong kosong belaka.
Kenyataannya adalah, logika, cara, tindakan, hingga gaya hidup mereka, bukan lagi jauh dari keberpihakan terhadap kaum marginal. Tetapi, justru merekalah aktor utama pemiskinan, katalisator disparitas sosial dan agen terbaik dalam dehumanisasi.
Hanya karena memiliki kapital, mereka bukan hanya mengendalikan produksi dan makna-makna serta imajinasi mengenai kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat luas. Tetapi juga gaya hidup yang serba konsumeristik. Mereka membeli kekuasaan, hukum, perundang-undangan dan pada akhirnya keadilan.
Mereka juga menunggangi setiap kejadian-kejadian penting – yang terkadang sangat memuakkan dan sangat merendahkan martabat kemanusiaan – atas nama apapun selama hal itu dapat dijadikan sebagai komoditas yang mampu menyokong segala kesenangan mereka: keserakahan.
Keserakahan adalah kata terbaik untuk menggambarkan sikap yang gemar menumpuk-numpuk harta (akumulasi kapital) secara membabi-buta tanpa sedikitpun menyadari pentingnya nilai kebajikan.
Mengapa fenomena Habibi Rizieq, Amien Rais, Zakir Naik dan Felix Siauw, lantas diikuti dengan aksi-aksi populisme Islam (212 dan 411) begitu menyihir masyarakat luas saat ini?
Tentu saja, karena sedikit banyak, keperluan beragama – berarti kehendak untuk meningkatkan religiusitas dan spiritualitas – menjadi semakin menguat. Demonstrasi-demonstrasi politik yang mengatasnamakan agama juga memberikan pengaruh mengenai penguatan keperluan beragama.
Artinya apa? Masyarakat mengidamkan jalan keluar. Masyarakat ingin keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan pelbagai pencapaian ideal lainnya. Tapi kenyataannya, jalan keluar ini – yang menurut Nurcholish Madjid bisa ditemui melalui penghayatan yang paling murni – itupun sudah dikapitalisasi, untuk setidaknya urusan dua hal: kekuasaan dan kapitalisme.
Kita harus berani bertanya dan mempersoalkan, apa motif dibalik perayaan Islamisme yang absurd dewasa ini? Tentu kekuasaan dan kapitalisme. Konteks pemilihan umum yang menggambarkan adanya konstalasi politik yang begitu panas, terutama di lingkaran elit politik dan ekonomi, tidak bisa dianggap sebagai hal yang remeh.
Akan tetapi, bagaimana mungkin jutaan jiwa terpanggil untuk urusan yang jelas dipolitisir?
Mereka hanya melihat pentingnya nilai kebajikan di dalam agama, terutama demi kebenaran, keadilan dan jalan keluar atas segala masalah kehidupan. Sayangnya, apa yang mereka anggap penting dan luhur ini, sia-sia belaka oleh karena kehidupan beragama yang paling konkret pun telah terbeli oleh kepentingan pihak-pihak tertentu.
Proses ketika manusia tidak mampu lagi menemukan nilai agama yang sebenarnya, atau setidaknya tidak mampu menyadari bahwa kehidupan keagamaan telah dikapitalisasi oleh segelintir elit politik dan ekonomi, layak pula disebut dengan dehumanisasi.
Seorang Indonesianis terkemuka, Greg Fealy, menyatakan bahwa fenomena ini terjadi oleh karena adanya penguatan konservatisme Islam. Menurutnya, hal ini dibuktikan dengan munculnya agenda-agenda formalisasi syariah pada ranah konstitusional.
Majalah Tempo merilis analisisnya dan menyebutkan bahwa, sebagai akibat dari pengerasan sikap keberagamaan pada jutaan demonstran, maka timbullah trend mobokrasi. Trend ini menghendaki bahwa kebenaran dan keadilan ditentukan oleh suara massa demonstran. Tentu tidak keliru mendiagnosa demikian.
Kenyataannya memang konservatisme Islam menguat. Tetapi, apakah peran-peran struktural, relasi kekuasaan dan gerak kekuatan kapital tidak perlu dipertimbangkan? Apa sudah cukup hanya sekedar menyinggung bahwa “hal ini ditunggangi oleh kepentingan politik”?
Ini bukanlah sekedar ada kepentingan politik yang menunggangi. Ini diciptakan oleh aktor politik yang berkepentingan. Dalam konteks ini, belum ada yang secara terang-terangan mengajukan hasil diagnosa bahwa, elitlah yang membuat segala proses dehumanisasi ini.
Dehumanisasi yang terjadi di negeri ini, dipicu oleh meluapnya keserakahan yang tak terkendali di kalangan elit politik dan ekonomi. Mereka gandrung akan kekuasaan (status quo) dan akumulasi kapital.
Terkadang mereka berkomplot satu sama lain, atau bahkan berwajah tunggal dengan banyak kepentingan. Hampir-hampir begitu susah membedakan antara penguasa dan pengusaha. Namun, pendek kata, harta dan tahta menjadi cita-cita tertinggi bagi mereka, disadari atau tidak.
Bagaimana mungkin? Bukanlah hal yang sulit membeli institusi (atau perkumpulan) keagamaan tertentu, asalkan memiliki cukup modal. Telah menjadi rahasia umum pula, apabila terdapat pebagai institusi keagamaan yang menjual jasanya kepada para pemilik modal, baik secara langsung dan terang-terangan, maupun dengan cara yang sangat canggih dan (hampir) tak teridentifikasi. Melalui hal ini, mereka bisa mengkoordinir massa yang berjumlah besar untuk aktivitas tertentu yang menguntungkan kepentingan tertentu.
Di samping itu, kontestasi wacana publik dapat dengan mudah dimenangkan apabila memiliki tim-tim media sosial, termasuk di antara pembuat dan penyebar berita bohong, kampanye negatif dan fitnah (hoax). Di tengah himpitan masalah iliterasi politik, masyarakat luas sulit sekali membedakan mana kabar yang benar dan yang keliru. Lalu agama menjadi topeng, yang mereka manfaatkan untuk menguasai wacana, mengkoordinir massa dan menjadi senjata bagi kontestasi politik elit.
Ini semua terjadi Pasca Reformasi, di mana iklim perpolitikan menjadi sangat liberal, bebas dan boleh dirayakan oleh siapa saja. Proses demokratisasi juga memberikan kesempatan merayakan kebebasan bagi mereka yang anti kebebasan dan demokrasi. Seperti misalnya, kelompok-kelompok politik sisa-sisa rezim otoritarian Orde Baru atau kelompok-kelompok keagamaan yang menganggap demokrasi itu produk kafir dan seterusnya.
Hal ini semakin memperkuat oligarkisme dan menciptakan wajah buram dari demokrasi itu sendiri. Ruang publik memang terbuka dan siapa saja boleh mengungkapkan pemikirannya, perasaannya dan keimanannya di hadapan publik.
Akan tetapi, segala hal yang bersifat dehumanistik pun, akhirnya mendapatkan kesempatan untuk membuat negeri ini semakin mundur, jauh ke belakang. Ini adalah manifestasi demokrasi, tanpa keadaban.
Sekali lagi, para elit di negeri ini berperan penting dalam menentukan masa depan kemanusiaan, semenjak mereka mampu mengendalikan segalanya, termasuk kelas menengah intelektual, ekonomi dan keagamaan.
Yang paling jelas dari itu semua, pembangunan kosong melompong, – kalaupun ada, terhambat betul. Masyarakat luas, terutama rakyat miskin, menjadi korban. Sementara itu, makna, penghayatan dan praktik keagamaan kehilangan arah.
Apakah nasehat yang pantas untuk para elit yang menghendaki ini semua ketimbang mengupayakan kemaslahatan publik, kebajikan dan pembangunan? Marilah menjaga diri agar tidak terjerumus dalam kategori “Stomme Hond” yang kurang baik ini.
*) Presidium JIMM, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang dan pendiri the Reading Group for Social Transformation (RGST).