PIJARNews.ID – Pada Tahun 2020 ini, Indonesia kembali akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 224 Kabupaten dan 37 Kota. Hal ini mengacu pada undang-undang tentang Pilkada serentak tahun 2015. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa setiap pemilihan kepada daerah di tingkat Provinsi, Kota dan Kabupaten akan dilaksanakan secara serentak di seluruh daerah.
Dalam pilkada serentak ini, kita akan disuguhkan oleh beberapa nama calon kepala daerah yang sangat familiar kita lihat di televisi pada kontestasi pilpres kemarin. Setidaknya nama-nama tenar di televisi tersebut adalah, Faldo Maldini, Rian Ernest, Dahnil Anzar Simanjuntak, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution.
Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Rian Ernest resmi mendeklarasikan diri sebagai bakal calon wali kota pada Pilkada Batam 2020 lewat jalur independen. Rian menggandeng politikus Partai Amanat Nasional Yusiana Gurusinga sebagai wakilnya.
Selanjutnya adalah Faldo Maldini yang diketahui akan maju pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Sebelumnya Faldo Maldini ingin berkontestasi untuk menjadi Gubernur Sumatera Barat, namun Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengandaskan cita-citanya. MK menyatakan peraturan soal batas usia untuk maju sebagai gubernur/wakil gubernur tetap sama seperti yang diatur dalam Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016. Faldo adalah salah satu pemohon uji materi peraturan tersebut bersama beberapa politikus muda lain.
Disisi lain ada Politikus Partai Gerindra Dahnil Anzar Simanjuntak yang mengaku belum memutuskan untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Walikota Medan pada 2020 mendatang. Hingga saat ini Prabowo belum memberikan instruksi apakah tetap harus maju sebagai kepala daerah di Kota Medan atau tetap mendampingi beliau sebagai Staf Khusus Menteri Pertahanan RI.
Nama selanjutnya adalah bakal calon wali kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang tidak lain adalah putra pertama Presiden RI saat ini. Gibran telah mengantongi rekomendasi dari DPP PDI-P terkait pencalonannya yang sempat menimbulkan polemik. Tapi dasar anak orang nomor satu di RI ini, apasih yang enggak. Selanjutnya Gibran menyerahkan keputusan terkait siapa calon wakil wali kota yang nanti akan mendampinginya pada Pilkada Solo 2020 kepada DPP PDI-P.
Kabar selanjutnya adalah datang dari menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Bobby Afif Nasution yang maju dalam Pilwalkot Medan 2020. Kepastian menantu Presiden Joko Widodo, Bobby Afif Nasution terjun ke dunia politik akhirnya terjawab pada Selasa (3/12). Bobby mendatangi kantor DPD PDI Perjuangan di Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan, Medan untuk ikut daftar sebagai balon Wali Kota Medan. Pilkada itu rencananya digelar pada 2020.
Apapun yang di Jakarta selalu viral
Nama-nama tenar diatas adalah nama yang sudah sering muncul dalam perhelatan politik nasional di Jakarta. Jakarta selalu dekat dengan sorot kamera wartawan, bahkan seorang penyanyi jika ingin tenar harus tinggal di Jakarta. Hal itupun juga terjadi untuk para politisi, untuk bisa mendapatkan restu dalam proses pencalonan kepala daerah mereka harus melakukan lobby di Jakarta (DPP Partai Politik). Jakarta menjadi magnet bagi para politisi baik yang muda maupun yang tua untuk bisa berkuasa di Indonesia.
Tidak heran jika pada saat kampanye pilpres kemarin banyak yang mencoba numpang tenar dari popularitas calon presidennya. Mereka sering tampil dalam debat TV dengan predikat sebagai juru bicara salah satu capres. Sebut saja Faldo Maldini dan Rian Ernest yang saat kampanye selalu tampil membela calon masing-masing capresnya, hampir disetiap debat televisi jika ada Faldo pasti ada Ernest. Seiring berjalannya waktu kita tau bahwa dengan bekal mondar-mandir di TV Nasional Faldo Maldini dan Rian Ernest mencoba peruntungannya dengan mencalonkan diri menjadi Gubernur Sumatra Barat.
Pun hal ini terjadi pada Dahnil Azhar yang mencoba peruntungannya dari Jakarta pula. Berawal dari juru bicara BPN dan meninggalkan jabatan ASN Dosennya di Untirta, sekarang dia menjadi Staf Khusus Menteri Pertahanan RI. Hampir sama dengan Faldo, Dahnil juga memulai karir dari berbagai debat di TV Nasional. Dua nama lain yaitu Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution adalah dua nama yang selalu melekat dari citra Jokowidodo. Jadi keduanya akan secara otomatis mendapatkan popularitas dari setiap citra baik Jokowi di media.
Beberapa nama politisi diatas menunjukkan bahwa Jakarta selalu menyediakan tiket premium untuk mereka mengadu nasib di level daerah. Jakarta menjanjikan ke”viral”an yang bisa dikapitalisasi oleh para politisi ini menjadi kursi elektoral di level daerah.
Keputusan Partai Politik ada di Pusat Jakarta
Nampaknya Jakarta juga masih menjadi pemegang mandat terkuat untuk partai politik dalam memberikan mandat untuk kadernya. Hal ini terlihat dari manuver sang putra pertama presiden Jokowidodo, Mas Gibran yang belum juga kunjung dapat rekomendasi dari PDI-P Solo untuk maju dalam Pilwalkot Solo. Mas Gibran sang pemilik markobar tersebut tak tanggung-tanggung dengan langsung datang ke Jakarta untuk mendapatkan mandat dari Ibu Megawati dalam pencalonannya di Pilwalkot Solo. Hal itupun juga terjadi pada semua partai politik di Indonesia, bahwa semua keputusan terkait mandat pencalonan pilkada masih berada ditangan sang ketua umum partai politik, lebih tepatnya ada di Jakarta.
Begitupun dengan calon-calon yang lain, Dahnil Azhar masih menunggu restu dari Prabowo, Bobby masih menunggu restu dari beberapa petinggi partai politik. Sedangkan Faldo juga sedang dalam proses lobby dengan beberapa DPP Parpol untuk tiketnya di Pilkada Pesisir Selatan. Hal ini berbeda dengan Rian Ernest yang walaupun petinggi PSI, tetapi memilih untuk maju dalam Pilwalkot Batam melalui jalur independent. Tetapi kita lihat saja konsistensinya, apakah akan berakhir seperti Ahok, atau tetap jalur independent.
Pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang akan diusung oleh partai atau gabungan partai politik harus mendapatkan tanda tangan dari ketua umum pengurus pusat partai politik. Aturan inilah yang kemudian secara tidak langsung mengikat pengurus partai di tingkat lokal dan tidak dapat secara otonom menentukan siapa calon kepala dan wakil kelapa daerah. Praktik ini menjadi langgeng karena dalam dua kali proses revisi UU Pilkada (UU No. 8/2015 dan UU No. 10/2016).
Aturan yang demikian tentu akan semakin mempertahankan praktik yang sentralistik klientelistik dan oligarkis di tubuh partai politik. Sebab, mereka yang maju dalam gelanggang pertarungan pilkada seringkali adalah orang-orang yang dekat dan dikenal oleh pengurus pusat partai politik. Bukan orang-orang yang dimajukan berdasarkan pertimbangan keinginan publik.
Yang ingin saya katakan dalam tulisan ini adalah, kenyataan politik kita itu masih sangat tersentral di jakarta. Sebagaimana bahkan pasca reformasi yang salah satu tuntutannya adalah adanya desentralisasi agar kewenangan dan kekuasaan tidak tersentral di Jakarta, tidak begitu pada kenyataannya. Justru kalau kita mau lebih jeli melihatnya, yang terdesentralisasi adalah korupsi, yang awalnya terpusat pada presiden Soeharto pasca reformasi korupsi bisa terjadi pada para kepala daerah di seantero indonesia. Saat ini Jakarta masih penuh dengan sorot kamera dan akan dikapitalisasi menjadi suara elektoral dalam setiap pemilunya.
(Penulis adalah Kabid. Hikmah PDPM Bojonegoro)