PIJARNews.ID – Di Indonesia ini siapa yang tak kenal dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur?, tokoh bangsa yang memiliki segudang penghargaan atas perjuangan dan dedikasinya merawat kebhinekaan, perdamaian, dan persatuan di negerinya. Padanyalah gelar kehormatan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia disematkan dari Komunitas Tionghoa Semarang, dan Gus Dur memang layak mendapat gelar sebagai Bapak Pluralisme dan Pejuang Kemanusiaan.
Nama Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur sebenarnya sudah sejak lama sangat familiar di telinga saya. Tapi sosok di balik nama itu hanya terlintas di fikiran saja, tidak benar-benar mengerti tentang sepak terjangnya dalam menebar toleransi dan mencintai kemanusiaan di negeri ini. Untuk mengobati rasa keingin tahuan itu, maka saya mencoba untuk menggali tentangnya lebih dalam lagi.
Sekilas Tentang Gus Dur
Putra dari KH. Wahid Hasyim sekaligus cucu dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari ini lahir di Jombang, 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman “Addakhil” yang bermakna Sang Penakluk. Namun karena Addakhil kurang dikenal, maka digantilah dengan nama Abdurrahman “Wahid” yang dinisbahkan ke nama ayahnya.
Gus Dur adalah tipe orang yang giat dalam mencari ilmu, hal ini dibuktikan dengan berkali-kali ia mondok ke berbagai tempat. Pertama di Pesantren Krapyak Yogyakarta, kemudian lanjut di Pesantren Tegalrejo, dan terakhir di Pesantren Tambakberas, Jombang. Sembari berkiprah sebagai jurnalis di majalah sastra Horizon dan majalah Budaya Jaya.
Selanjutnya, Gus Dur melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar Mesir, lalu pindah ke Iraq. Lulus dari Iraq, Gus Dur melanjutkan studinya di Universitas Leiden Belanda. Dari sini, kita mengetahui betapa khazanah keilmuan Gus Dur sangat kaya dan beragam, di sisi lain beliau adalah sosok yang concern mendedikasikan dirinya dalam mencintai perdamaian dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Dari sanalah sosok Gus Dur patut diteladani bagi kita yang mendambakan perdamaian dan toleransi.
Mencintai Kemanusiaan, Menebar Toleransi
Banyak sekali kisah perjuangan Gus Dur yang berakitan dengan kemanusiaan yang terekam sempurna pada tulisan-tulisannya maupun kesaksian orang-orang terdekat atas perjuangannya; menebar toleransi menuai perdamaian di negeri ini. Maka tak heran, Gus Dur dianugerahi beberapa penghargaan dari dalam dan luar negeri. Salah satunya adalah Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang cukup prestisius untuk ketegori Community Leadership.
Husein Muhammad dalam bukunya, Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur (2012), memaparkan dengan cukup jelas perihal sikap Gus Dur terhadap kemanusiaan, “Sebagai pejuang kemanusiaan, Gus Dur tak pernah membeda-bedakan seseorang dari latar belakangnya. Gus Dur tak memandang manusia melalui kacamata agama, politik, suku, partai, ormas, dan atribut-atribut lainnya. Fokus perhatiannya adalah manusia dan kemanusiaan itu sendiri.”
Salah satu bukti bahwa Gus Dur adalah pejuang kemanusiaan dan toleransi, ialah saat ia mengupayakan bagi para pemeluk Kong Hu Chu yang masih mengalami diskriminasi kala itu untuk meresmikan mereka menjadi agama yang diakui secara nasional. Ditambah lagi penghormatan kepadanya oleh masyarakat Tionghoa karena Gus Dur mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 yang melarang seluruh kegiatan yang berhubungan dengan orang Tionghoa.
Dengan kegigihannya memperjuangkan ukhuwah insaniah serta kecintaannya terhadap kemanusiaan, maka pada tahun 2014 Gus Dur mendapat gelar kehormatan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia dari Komunitas Tionghoa Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong (Rasa Dharma) Semarang.
Pemimpin yang Berdaulat
Dalam menjalankan amanah rakyat dan tugas negara, Budayawan Emha Ainun Nadjib dalam bukunya, Kagum kepada Orang Indonesia (2005), Cak Nun mengakui keunggulan dan kualitas seorang Gus Dur, “Bahwa sejak Presiden Abdurrahman Wahid, dunia terperangah bahwa keunggulan kualitas bangsa Indonesia bergema di seantero bumi. Meskipun punya kekurangan secara fisik, Presiden ini sanggup menggemparkan bumi dan langit, sehingga setiap makhuk di alam semesta tak ada yang tak membicarakan dan mempergunjingkan beliau dalam nada yang penuh cinta dan decak kagum.”
Hal tersebut memang terbukti. Menurut Virdika Rizky Utama penulis buku Menjerat Gus Dur (2019), seperti dikutip NU Online berjudul Gus Dur Melawan Oligarki yang Tak Pernah Usai, ia menyatakan bahwa, Gus Dur dalam usahanya mendemokratisasi Indonesia menempatkan rakyat sebagai subjek yang berdaulat. Bukan seperti yang selama ini masih terjadi, yang sah berdaulat hanya pemerintah dan parpol. Rakyat hanya diakui dan dibutuhkan ketika pemilu berlangsung dan banyak transaksi di belakangnya. Sungguh tak memanusiakan dan juga sebuah peradaban politik yang dangkal.
Dari Gus Dur, lanjutnya, kita belajar tentang konsistensi sikap. Ketika masih di luar kekuasaan, ia terus membentuk, memperjuangkan, dan merawat idealismenya terutama tentnag demokrasi, dan ketika berada di dalam kekuasaan, Gus Dur memperjuangkan idealismenya agar dapat terwujud.
Gus Dur Memandang Konsep Negara Islam
Syafi’i Anwar dalam kata pengantarnya dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Membingkai Potret Pemikiran Politik KH Abdurrahman Wahid (2006), menjelaskan argumen Gus Dur mengenai gagasan tentang negara Islam. Penolakan Gus Dur terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang negara Islam. Seperti sudah sering dinyatakannya, Gus Dur secata tegas menolak gagasan negara Islam. Sikapnya ini didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syariat) tak memiliki konsep yang jelas tentang negara.
Gus Dur mengklaim, sepanjang hidupnya ia telah mencari dengan sia-sia makhluk yang bernama negara Islam itu. “Sampai hari ini belum juga saya temukan. Sehingga saya sampai pada kesimpulan bahwa Islam memang tak memiliki konsep tentang bagaimana negara dibuat dan dipertahankan.”
Dasar yang dipakai Gus Dur ada dua. Pertama, bahwa Islam tak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. Itu terbukti ketika Nabi Muhammad Saw wafat dan digantikan oleh Abu bakar. Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah dilakukan melalui bai’at oleh para kepala suku dan wakil-wakil kelompok ummat yang ada pada waktu itu. Sedangkan Abu Bakar sebelum wafat menyatakan kepada kaum muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat untuk menggantikan posisinya.
Ini berarti sistem yang dipakai adalah penunjukan, sementara Umar menjelang wafatnya meminta agar penggantinya ditunjuk melalui sebuah dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu dipilihlah Utsman bin Affan untuk menggantikan Umar. Selanjutnya, Utsman digantikan Ali bin Abi Thalib.
Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya, negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks negara-bangsa (nation-state), ataukah hanya negara negara-kota (city-state). Sebab concern utama Nabi Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk mempersatukan para pemeluk Islam (al-wihda al-ijtima’i) dari pada membangun sebuah negara atau sistem pemerintahan.
Gemar Berkelakar
Menurut orang terdekat, disamping sosok yang humanis dan pluralis, Gus Dur juga dikenal humoris. Gus Dur kerap kali melontarkan lelucon di setiap pembicaraannya. Banyak sekali joke Gus Dur yang begitu mengelitik. Salah satunya dilontarkan oleh Emha Ainun Nadjib.
Seperti yang ditulis Emha dalam buku Kagum kepada Orang Indonesia, (2015), Cak Nun bertanya, “Kenapa si Gus, kok pakai bikin dekrit segala?,” beliau menjawab, “Lha sudah lama ndak ada dekrit,”. “Sampeyan bikin dekrit kok salah staf untuk mengidentifikasi sikap TNI?”, lanjut Cak Nun, “Yang namanya teplek (sejenis judi kampung di Jombang), kadang ya menang kadang ya kalah.”
Demikianlah sepak terjang Gus Dur dalam menebar toleransi dan mencintai kemanusiaan di negeri yang sangat dicintainya ini. Dan kita sebagai pemuda harapan bangsa sudah saatnya untuk menebar toleransi agar perdamaian bisa kita tuai di masa mendatang.
Seperti yang pernah dituturkan olehnya, “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya,” seperti itulah seyogianya kita agar saling menghormati, mengasihi, serta merayakan perbedaan ini.
Sebab di dalam suatu perbedaan, termasuk dalam hukum-hukum Islam, biarlah Allah Swt yang kelak memutuskan ihwal kebenarannya. Di dalam suatu perbedaan, yang paling masuk akal bagi kita ialah-sekali lagi-semata saling menghargai dan menghormati. Jika dua hal itu telah terpatri dalam sanubari, niscaya kita dengan beragam suku, agama, etnis, maupun ras akan saling rangkul, berjabat erat satu sama lain. Dan berikrar bahwa kita adalah satu, Indonesia.
(Penulis adalah Pengajar di Ponpes Karangasem Paciran)