PIJARNews.ID – Pada zaman sekarang, banyak hal-hal yang sudah tergerus oleh kemajuan teknologi seiring globalisasi. Mulai permainan, lagu, bahkan kebiasaan yang sudah turun-temurun diwariskan oleh orangtua kita. Memasuki tahun 2000an, adakah tanda masuknya teknologi yang membuat sebagian masyarakat meninggalkan kebiasaan lama.
Anak-anak generasi 90an masih dapat menikmati asyiknya bermain dengan sebaya, dari petak umpet sampai layangan hingga menginjak-injak tanaman dan dimarahi yang punya lahan. Orangtua pun masih menikmati komunikasi lewat surat, kanal informasi pun didapat dari koran dan televisi (bahkan numpang di tetangga rumah). Hal itu yang kadang dirindukan oleh generasi 90an dan jarang ditemui mereka di era digital.
Terlebih lagi, lagu-lagu dan acara anak yang biasa dinikmati setiap minggu, semua hampir tiada dan bahkan sudah tidak ada. Serial kartun Doraemon, Ninja Hatori, sampai Teletubbies yang menjadi tontonan menarik meski usia sudah beranjak remaja. Dari dunia musik juga, era 90an lebih menarik, bukan berarti zaman sekarang tidak. Namun tahun 90an terasa lebih mengena dan membekas di hati para penikmatnya.
Grup band dan penyanyi solo, trio pun selalu kita nantikan single dan albumnya. Tangga lagu di MTv Ampuh, acara musik waktu itu menjadi tolak ukur popularitas sebuah lagu di Indonesia. Mendengarkan musik dengan membeli kaset, dan VCD/DVD menjadi nikmat tersendiri dikalangan generasi 90an. Permainan PlayStation (PS) merupakan game mewah di era itu yang bisa kita nikmati dengan datang ke rental dengan biaya Rp. 1.500 per jam, bahkan bisa kami dapatkan dengan uang patungan.
Tahun 90an dimana kami anak usia SD/SMP menikmati indahnya permainan, jangankan game online, handphone pun menjadi barang yang jarang kami pegang. Untuk menelpon, kami harus akrab dengan Wartel (Warung Telepon) dengan biaya per jam sekitar Rp 2000. Belum lagi jika ingat mobil-mobilan tamiya dan gasing, merupakan permainan elit di zaman itu. Memang dibilang masih zaman sulit, namun kami anak-anak ditahun 1990an sangat menikmati keakraban dan kesederhanaan itu. Berbekal kayu, bola bahkan batu pun bisa kami buat permainan bersama teman sekolah atau pun anak tetangga.
Sebagai anak 90an yang merupakan fans garis keras Trio Kwek-kwek dan Joshua, sangat rindu dengan lagu-lagu bertema anak-anak yang marak di zaman kami itu. Lagu diobok-obok seakan menjadi lagu wajib, dimana banyak anak di waktu itu yang hafal lagu Joshua Suherman itu. Acara anak pun masih sering kami jumpai melalui televisi swasta, dari tralala-trilili hingga sinetron Jin dan Jun menjadi akrab di mata kami. Lagu zaman itu juga banyak diproduksi, para musisi hingga penyanyi solo berlomba membuat album.
Band kawakan seperti Dewa 19, Sheila On 7, sampai Jamrud menjadi idola remaja di Tahun 90an sampai awal 2000an. Namun kini, band-band dan penyanyi seangkatan mereka seakan hilang dan kami tinggal bernostalgia dengan menikmati hits mereka di Youtube. Tahun 90an juga ada musik Slowrock Malaysia, sampai tembang India yang mewabah di dunia musik tanah air.
Emak-emak juga dimanjakan dengan drama dan sinetron yang populer di zaman itu, dari sinetron Tersanjung, Si Doel Anak Sekolahan, hingga Cinta Fitri yang entah berapa season banyaknya. Kira-kira begitulah hiburan dan permainan yang masih banyak lagi di tahun 90an dengan penuh cerita dan makna.
Beranjak ke tahun 2000an, media sosial merambah masuk ke desa-desa. Kami pun mulai mengenal alat komunikasi dunia maya yang menggunakan kuota, dari mig33, friendster, sampai facebook menjamur. Bahkan sekarang, akun media sosial bak kartu kependudukan yang di mana hampir semua orang sampai anak SD pun punya. Anak kecil hingga remaja sekarang diasyikan dengan gadget mereka yang sudah terpasang permainan, sehingga mungkin mereka tidak menikmati serunya bermain layangan.
Di warung kopi, kafe, bahkan di rumah, gawai menjadi teman yang seakan tidak bisa lepas dari genggaman. Permainan zaman 90an yang menghangatkan dan menciptakan kebersamaan, kini berganti permainan dalam smartphone yang seakan menjauhkan dari kehidupan sosial. Bermain bola dengan batas adzan maghrib, kini beranjak hilang. Hari minggu yang menjadi idaman hingga rela bolos sekolah bagi yang libur hari Jum’at, kini bagaikan lagu Kisah Sedih Dihari Minggu yang dilantunkan oleh Marshanda, penyanyi idola saya jaman dulu.
Sedih itu mungkin hanya saya dan generasi 90an yang rindu akan masa-masa dimana uang jajan rela ditukar dengan menikmati game di rental PS. Anak zaman now, lebih hafal lagu orang dewasa yang mungkin belum saatnya mereka mendengarkannya. Mungkin karena kurangnya lagu anak pada saat ini, belum lagi tontonan yang ada di televisi dari sinetron hingga drama percintaan yang amat sering saya dengarkan mereka berbincang akan hal itu. Makin kesini makin kurang sekali apa yang kami nikmati di era 90an, mungkin karena kemajuan zaman.
Untuk mengabadikan wajah pun dulu kita harus pergi ke studio foto, karena hanya sedikit yang punya kamera. Namun sekarang, kapan pun dan dimanapun kita bisa melakukan foto dari smartphone. Anak perempuan pun dulu, lebih suka dirumah dengan main baju-bajuan dan yang laki-laki asyik bermain kelereng. Kini tidak, remaja sekarang dengan fasilitas dari orangtua berupa hape dan sepeda motor bisa kemana saja dan kadang membuat orangtua kebingungan mencari.
Cokelat kecil berwarna warni yang dulu 500 perak sudah bisa dinikmati, kini jangankan menikmati, keberadaannya pun sudah tidak terdeteksi. Main polisian dengan topeng dari kertas, tembak-tembakan dari batang pisang, lompat tali dari karet, nulis curahan hati di buku diary, adalah sepenggal kisah kebiasaan anak 90an yang kini tak lagi dijumpai.
Meminjam kalimat yang sering kita lihat “Piye kabare?.. Penak jamanku to?”. Dalam konteks permainan, dan hal lain yang ada pada generasi 90an akan menjawab, “Ya!” terlepas dari masalah politik, ekonomi, dan urusan orang dewasa lainnya. Yang kami fikirkan hanyalah hari Minggu, hari libur panjang, dan janjian untuk bermain bersama teman, serta tambahan uang jajan.
(Penulis adalah Guru MIM 06 Tebluru Solokuro Lamongan)