Saat anggota parlemen banyak disandera kasus hukum, media massa sudah dibeli, organisasi-organisasi massa dan tokoh-tokohnya sudah dibungkam, maka aparatur sipil Negara sebagai pilar demokrasi yang masih memiliki akal sehat perlu kembali menegaskan kesetiaannya pada cita-cita konstitusi (pwmu.co).
Dalam perspektif cita-cita konstitusi itulah netralitas aparatur sipil Negara perlu dipahami: bukan netralitas tanpa panduan dan bebas-nilai, tapi kesadaran untuk tetap setia pada tujuan-tujuan konstitusi, siapapun pemerintah yang berkuasa. Dalam konteks saat ini, KPU lah satu-satunya birokrasi Negara yang akan diuji selama proses pemilu untuk menjamin hasil pemilu yang benar, jujur dan adil dalam rangka membentuk pemerintahan berikutnya yang memiliki legalitas yang kuat.
Ujian pertama KPU adalah soal keputusan yang melarang mantan koruptor untuk maju dalam kontestasi Pemilu 2019. Keputusan tersebut langsung menjadi isu hangat dan sempat menjadi polemik dalam beberapa pekan setelahnya. Keputusan yang tertuang pada Pasal 7 ayat 1 huruf h dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota mendapat tentangan dari partai politik sebagai pihak yang merasa dirugikan dan langsung merasakan dampak dari keputusan KPU itu. Bukan hanya dari partai politik, keberatan banyak pihak dari tokoh masyarakat, pengamat politik, pemerhati hukum, bahkan Kemeterian Hukum dan HAM menjadi ujian yang cukup berat bagi netralitas dan kredibilatas KPU dalam membuat peraturan yang terkait dengan pelaksanaan pemilu.
Meskipun mendapat dukungan langsung dari Presiden dan beberapa lembaga lainnya seperti KPK, BNN, dan ICW. Namun KPU dianggap tidak memiliki wewenang dalam permasalahan pencalegan. Ketua DPR RI Bambang Soesatyo, mengatakan bahwa permasalahan caleg seharusnya diserahkan kepartai politik untuk menentukan mengusung tidaknya seorang caleg tertentu. Sedangkan terpilih atau tidaknya caleg menjadi anggota legislative diserahkan kepada masyarakat secara langsung tanpa harus dibatasi hak pencalonannya oleh KPU.
Hal senada disampaikan anggota komisi II DPR RI dari Fraksi PPP Ahmad Baidowi, bahwa pelarangan KPU ini dapat saja memunculkan hak angket di DPR. Sama halnya dengan yang di katakan seorang politikus bahwa pencabutan hal politik harus berdasarkan pada undang-undang. Bawaslu juga menambahkan bahwa aturan yang di buat oleh KPU tidak boleh bertabrakan dengan undang-undang. Ujungnya, Kementerian Hukum dan HAM pun menolak untuk mengundangkan PKPU tersebut dengan alasan bahwa larangan eks koruptor menjadi caleg tidak diatur dalam peraturan yang lebih tinggi, yakni UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Arief Budiman selaku ketua komisi pemilihan umum (KPU) republik Indonesia menuturkan alasan diusulkannya peraturan tersebut merupakan salah satu upaya pencegahan terjadinya tindak korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Sebab, ia menyampaikan, KPU menginginkan agar calon yang akan maju baik di Pemilihan kepala daerah maupun Pemilihan legislatif tidak ada yang tersentuh kasus-kasus korupsi. Komisioner KPU, Ilham Saputra pun mengatakan bahwa aturan KPU melarang eks koruptor menjadi caleg adalah bagian dari upaya KPU untuk menjalankan pemerintahan yang anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Pro dan kontra tersebut menjadikan proses ini semakin memanas dan pada akhirnya terjadi uji materi. Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi Pasal 4 ayat 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif ( caleg) bertentangan dengan UU Pemilu. Putusan tersebut berakibat pada berubahnya status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi Memenuhi Syarat (MS). Artinya, mantan napi korupsi diperbolehkan untuk maju sebagai caleg. Atas putusan MA itu, dimungkinkan puluhan caleg mantan napi korupsi yang semula tidak diloloskan KPU lantaran tersandung PKPU nomor 20 tahun 2018 pasal 4 ayat 3, bakal lolos menjadi calon legislatif.
Secara regulasi, KPU punya otoritas untuk membuat peraturan. Soal apakah tafsir yang berupa Peraturan KPU sesuai atau tidak dengan selera publik harus disikapi secara konstitusional. Regulasi mengatur secara tegas jika terdapat satu klausul perundangan yang tak sesuai, ada mekanisme hukum yang bisa digunakan, yakni mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) atau mediasi melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk mencari jalan ke luar. kpu dalam hal ini pun masih tetap bisa bersikap netral, transparan dan bertanggung jawab atas setiap proses yang di lalui sampai ketahap akhir putusan dari mahkamah konstitusi yang pada akhirnya memperbolehkan calon legislatif mantan koruptor tetap bisa mencalonkan.
Kasus berbeda yang hampir sama di alami oleh kpu pula ketika memutuskan terkait pemberian kisi-kisi terhadap Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Debat Pilpres yang di selenggarakan oleh kpu. Hal tersebut menuai pro-kontra dari berbagai macam kalangan. Sehingga mengharuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan penjelasakan secara utuh tentang pentingnya memberikan kisi-kisi Depat Pilpres kepada para calon presiden dan wakil presiden.
Komisi pemilihan umum (KPU) dengan kelebihan dan kekurangannya tetap masih bisa mempertahankan kredibilitasnya sebagai lembaga negara dalam mengambil keputusan-keputusan dengan tetap netral, transparan dan bertanggung jawab sehingga tidak mmenikmbulakn polemik berkepanjangan di kemudian hari.
Dengan adanya lembaga yang masih kredibel seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka akan menjadi sebuah jaminan bagi bangsa Indonesia untuk memiliki pemerintahan yang memiliki legalitas yang mapan dan dapat dipercaya oleh mamsyarakat.
Oleh: Moh Mufti Asshidiqi, S.HI (JPPR Jawa Timur)