Oleh: Izzudin Fuad Fathony (Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Jawa Timur
PERGANTIAN rezim ditahun 1998, yang biasa kita sebut sebagai era Reformasi telah memberikan semangat dan motifasi tersendiri bagi seluruh komponen bangsa, tanpa terkecuali dalam keterlibatan peran politiknya, kegairahan politik nasionalpun meningkat tajam. Hal ini dapat kita telusuri melalui tema perpolitikan yakni demokratisasi dan partisipasi politik masyarakat. Kedua tema ini sudah sering kita dengarkan dan perbincangkan bersama baik diranah publik ataupun diranah non publik, baik acara formal maupun non formal, namun eksistensinya relatif tetap saja masih menjadi pusaran problematik.
Diantara akar persoalan demokratisasi dan partisipasi politik adalah cara memahaminya yang masih indidualistik dan cenderung dikuasai oleh pihak penguasa atau elit politik saja, sehingga memunculkan pemahaman yang membias dan terkesan tanpa ada kontrol nilai-nilai demokrasi.
Saat dinamika politik berlangsung maka sangat terasa aromanya bahwa yang terjadi hanya untuk kepentingan penguasa atau kepentingan elit partai politik saja, bukan untuk si pemilik demokrasi yang sesungguhnya yaitu rakyat atau masyrakat. Disadari atau tidak, bahwa warga masyarakat seringkali berada diposisi sebagai objek daripada subjek dalam demokrasi dan partisipasi. Bukan lagi Vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan, melainkan vox elit vox dei, suara elit suara Tuhan. Mencermati perkembangan ini maka jangan – jangan benar yang dikatakan Huntington dan Nelson (1990), ketika mengatakan bahwa dalam setiap bentuk partisipasi politik apapun sesungguhnya yang lebih banyak menikmati keuntungan adalah penggerak partisipasi (baca : elit) daripada yang digerakkan (baca : rakyat).
Rakyat lebih terbawa arus untuk berpartisipasi terhadap agenda pejabat, bukan pejabat yang berpartisipasi untuk merumuskan agenda yang sesuai kebutuhan masyarakat. Bahkan muncul dugaan kuat, tak jarang suara rakyat terbeli oleh investor politik (pemilik modal besar). Dimana partisipasi politik dimaknai sebagai dinamika politik yang berlangsung lebih berasa untuk kepentingan penguasa dan atau elit politik, bukan untuk si empunya demokrasi yakni rakyat. Maka jika hal tersebut dimaknai secara menyimpang, yakni sebagai keikutsertaan rakyat dalam menunaikan agenda elit, maka tentu saja medium yang kemudian muncul adalah medium birokratis – teknokratis, bukan segala hal yang melekat, build-in atau embedded dengan kebutuhan demokrasi rakyat.
Meski demikian, tentu kita tidak boleh secara sepihak menyalahkan si elit apalagi si pemerintah semata. Sebab jika kita meminjam pemikiran Parsons (dalam Turner: 1998), bisa saja apa yang terjadi dalam proses demokratisasi tersebut juga merupakan buah atau fungsi dari nilai, norma sosial budaya, situasi dan kondisi masyarakat, serta alat-alat tindakan yang tersedia dalam kehidupan rakyat itu sendiri.
Dari realita diatas yang telah dielaborasi, maka secara adil dapat disimpulkan tentang adanya persoalan dinamika politik yakni power arau elit driven serta social culture and political lag dari kalangan masyarakat. Pihak penguasa atau elit merasa lebih tahu apa yang dibtuhkan oleh rakyat, sementara disisi lain masyarakat terjebak dalam nilai dan norma sosial – budaya serta politik yang membuat mereka seolah tidak ada pilihan lain kecuali menuruti kemauan pengauasa, pemerintah, atau elit politik. Dan semua ini tidak boleh dibiarkan. Elit dan rakyat perlu sama-sama didorong untuk masuk ke dalam pola hubungan yang simbiosis mutualistik, bukan sebaliknya saling memanfaatkan, saling memakan, saling mencuri kesempatan.
Terlepas dari model demokrasi macam apa yang hendak dikembangkan, mau tidak mau, elit dan rakyat perlu saling menguatkan, perlu ada manunggaling kawulo lan gusti, perlu ada hubungan patron – client yang saling memberdayakan , bukan memperdayakan. Bersatu padunya pemerintah – rakyat dalam aktivitas politik sangat mungkin diwujudkan.
Tulisan ini lebih merupakan bahan untuk kita renungkan dan diskusikan bersama, daripada sebagai tuntunan baku upaya mobilisasi partisipasi politik. Kajian demokrasi dan partisipasi teramat luas, karenanya bisa saja tulisan ini hanya akan sampai pada lembaran discourse tentang peningkatan partisipasi politik semata. Walaupun begitu tetap saja exemplar pemikirian ini memiliki urgensi tersendiri bagi upaya merajut proses demokrasi sejalan dengan nyanyian nurani yang semestinya kita kumandangkan bersama: “rakyat-elit bersatu, Negara dan Bangsa terselamatkan”. Selayaknya diri dan pikiran yang kita miliki dibawa sesuai dengan nasehat Paulo Freire, “berangkatlah mencari solusi kehidupan dari realita yang kita hadapi, bukan dari teori-teori yang terlalu membumbung tinggi”, atau sesuai dengan ide Habermas, “buatlah panggung yang bisa menjadi wilayah bersama antara elit-rakyat, dimana kedua pihak bebas mengatakan apa yang harus dikatakan dengan tanpa ketakukan apapun juga”.
Partisipasi Politik
Partisipasi politik merupakan kegiatan seorang atau sekelompok orang selaku warga negara untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan umum dan atau politik, serta sekaligus mengawasi pelaksanaan kebijakan umum ataupun politik tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui prosedur konvensional ataupun non konvensional.
Partisipasi politik adalah aktivitas warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan umum atau keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan ketika orang berada dalam posisi sebagai warga negara (citizen), bukan ketika berstatus sebagai politikus ataupun pegawai negeri misalnya. Partisipasi politik seharusnya bersifat sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara, partai penguasa, ataupun para kapitalis yang tidak jarang berperan layaknya man behind the gun dan panggung sandiwara politik.
Namun demikian, dalam prakteknya sulit kita temukan partisipasi politik tanpa tindakan mobilisaisi dari pihak luar rakyat.
Gejala semacam ini juga telah dilihat oleh Huntington dan Nelson (1990) dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Keikutsertaan dalam hajat poltik tidak jarang merupakan sesuatau yang tidak mudah bagi rakyat. Terkadang, diperlukan langkah khas Indonesia, yakni 3 SA: dipaksa, terpaksa dan terbiasa berpartisipasi. Fenomena semacam ini teramat sering kita temukan dalam diary life masyarakat Indonesia di semua bidang, baik itu sosial politik, sosial budaya, hukum, pendidikan, agama, serta aspek-aspek pembangunan yang lainnya. Jurus 3 SA adalah Indonesia banget. Kita tidak mengikuti tuntunan teori dalam tiga tahapan, yaitu knowledge, attitude, and behavior.
Keikutsertaan masyarakat dalam mengawal jalannya sistem organisasi politik tertentu tidak boleh dibiarkan tumbuh dan berkembang secara liar, melainkan harus melalui pelembagaan partsipasi, baik dalam bentuk formal maupun substansial. Masyarakat harus sadar bahwa peran partisipasi poltiknya sangatlah penting, harus menjadi subjek bukan sekedar objek, tidak hanya sekedar ikut-ikutan proses pemilu yang dilaksanakan lima tahunan, setelah itu selesai tidak membekas sama sekali. Masyarakat harus menyadari perannya secara politis guna mengawal dan menyampaikan apa yang menjadi bergaining politik antara masyarakat dengan elit politik, terutama penguasa.
Keikutsertaan itu bisa diwujudkan dengan keterlibatan dalam kegiatan pemilu, baik menjadi bagian peserta pemilu, menjadi bagian penyelenggara pemilu, pemantau pemilu, dan seterusnya, yang penting semua unsur masyarakat melibatkan diri secara aktif, bukan hanya jadi subyek, penonton dan bahkan cuek terhadap perkembangan politik.