PIJARNews.ID – Rentetan penggusuran yang terjadi di Indonesia, seolah semakin tak terbendung. Kabar terbaru kita dapati pada hari kamis kemarin (9/5/2019), telah ramai dimuat dibebarapa berita online yang ada, yang mana pada bulan suci ramadhan ini, warga Tambakrejo kota Semarang mengalami nasib yang sangat tidak menguntungkan, mereka terpaksa diusir secara nir-manusiawi oleh aparat negara, dengan sekaligus melanggar kesepakatan dengan Komnas HAM mengenai normalisasi Banjir Kanal Timur (BKT). Belum lagi banyaknya isu krisis lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas individu atau kelompok manusia, yang tidak meperhatikan nilai kemanusiaan dan kelestarian alam tercinta.
Akhir-akhir ini kita pasti sudah banyak tau mengenai viralnya kampanye gerakan #noplastic, #zerowaste di wilayah sosial media. Meskipun gerakan tersebut bukanlah satu-satunya cara dalam memotong rantai utama produsen sampah, terutama soal sampah plastik. Akan tetapi, minimal gerakan tersebut, berjalan masif untuk menebar kesadaran di kalangan masyarakat akan bahaya sampah plastik. Tugas berat kita sebenarnya, justru kita dihadapkan dengan keseriusan dalam memberikan perhatian dan pengawasan penuh secara istiqomah sekaligus kolektif, terhadap siapa saja penyumbang utama soal momok sampah di daratan maupun lautan kita.
Perlu kita sadari bersama bahwa gerakan-gerakan anti-sampah itu pasti menemui banyak tantangan. Selain intimidasi tersistem, juga ‘gaya licik’ korporasi yang gemar mencitrakan diri dengan istilah perusahaan yang ramah lingkungan/ greenwashing. Sebagaimana hal ini dianggap oleh John Bellamy Foster dan Fredd Magdoff sebagai upaya korporasi berlagak ‘moralis’. Demi apa lagi kalau bukan menjaga ‘marwah’ dan stabilitas pangsa pasar, maka upaya branding diri ini terus digencarkan dengan segala cara dan berbagai arah.
Selaras dengan pernyataan dua tokoh tersebut, (alur kapitalis) mirip sekali dengan konsepsinya Niccolo Machiavelli tentang mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Korporasi menjadi begitu ‘ulet’ dalam memposisikan diri guna meraih keuntungan di mata konsumen tiada henti, melalui ‘jalan tikus’ sekalipun. Hal ini tepat kaitannya dengan peringatan Tuhan mengenai salah satu sifat keserakahan manusia, yakni sebagai spesies yang paling serakah (QS. Al-Baqarah 2: 30).
Dilansir dari Australia Plus ABC pada tahun 2018, Indonesia telah tercatat sebagai negara nomor 2 pencemar lingkungan terbesar di lautan, berkat lebih dari 3 ton sampah plastik yang dibuang ke laut setiap tahunnya. Padahal jamak diketahui bahwa tidak dibenarkan oleh siapapun mengenai membuang sampah sembarangan, terlebih adalah sampah plastik yang sangat susah terurai.
Dalam momentum puasa kali ini, sudah saatnya ummat muslim atau kelompok agama tidak hanya terjebak pada isu-isu politisasi agama, yang sudah barang tentu hal tersebut hanyalah ‘labirin berlumpur’ yang diciptakan oleh penguasa di negera ini, agar isu-isu utama di abad ini semacam kerusakan hutan, pencemaran sungai oleh limbah perusahaan hingga persoalan fundamental di kalangan petani: land grabbing atau perampasan tanah, sehingga terlupakan begitu saja.
Puasa sendiri merupakan salah satu dari ibadah pokok (mahdhah) yang diwajibkan dalam agama Islam. Kewajiban ini termaktub dengan jelas dalam al-Qur’an melalui firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (al-Baqarah: [2]; 183).
Makna yang terselip dari dalil agama tersebut adalah, rentang waktu pendek yang perlu dimaksimalkan oleh ummat muslim untuk memupuk kesadaran, terkhusus dalam konteks abad ini adalah tentang kesadaran ekologi. menguntip apa yang diperkenalkan oleh Fritjof Capra, seorang fisikawan dari Amerika Serikat yang mendalami filsafat lingkungan hidup.
Dalam sari buku berjudul The Web of Life yang terbit tahun 1996, Capra menegaskan bahwa: “Jika tidak terdapat kesadaran terhadap lingkungan hidup, tidak akan terdapat bahasa, kesadaran dan tidak ada kebudayaan bahkan tidak ada keadilan”.
Selain itu Fredd Magdoff dan Jhon Bellamy Foster dalam buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme, juga menegaskan suatu sebab (krisis lingkungan) adalah karena tata kerja sistem ekonomi di negara kita (hlm. 29). Bukan saja dari para konsumen, atau cara pandang antroposentris, tapi juga ‘kapitalisme’ sebagai tata sistem ekonomi yang dimaksud tersebut. Keduanya mengingatkan bahwa kapitalisme memliki berbagai dampak imperatif seperti, pengejaran laba dan akumulasi tanpa akhir. Imperatif itulah yang kemudian menjadi penggerak dan motivasi utama sistem tersebut.
Persaingan produksi akhirnya meningkat dan pangsa pasar juga diperlebar. Penghancuran ekologis akhirnya tercipta dan terus memperbesar seketika. Sehingga dampaknya adalah penindasan-penindasan yang akan terus bergulir bak bola sepak yang dipermainkan.
Begitupun dengan paradigma antroposentrisme, yang dikritik Sonny Keraf dalam bukunya Filsafat Lingkungan Hidup, Keraf menyebut bahwa manusia sebagai pusat kehidupan bumi yang mengakibatkan dominasi serta eksploitasi antar manusia dan alam sekitar. Ketika alam banyak memberikan ‘bahan baku’ untuk dimanfaatkan manusia, justru sifat serakah manusia semakin memjadi, rakus dan tidak mau tau atas dampak dari aktivitasnya tersebut.
Dengan banyaknya persoalan yang menyangkut hajat hidup ummat manusia yang semakin terancam (lingkungan hidup), sudah selayaknya pada bulan suci ini, ummat muslim harus mulai menelaah isi kitab suci Alqur’an tentang perintah dan peringatan yang terkandung di dalamnya (gema tadarus-ekologis). Terutama sifat serakah yang tidak segera dipangkas, akhirnya akan memberi dampak kerusakan alam yang semakin membahayakan seluruh kehidupan, anjuran esensial agama untuk melakukan perlawanan dalam menumpas segala kedzoliman di muka bumi ini, harus dimulai dari menumpas nafsu-nafsu jasadi.
Pada bulan suci ini, apakah gema khalifah fil ardl hanya akan terucap di mimbar-mimbar masjid layaknya mantra-mantra? Tanpa ada upaya rekonstruksi pikiran dan gerakan dalam menjalankan pesan agama? Bukankah agama Islam dihadirkan di muka bumi ini agar para manusia tidak hanya pasrah dan diam atas segala kedzoliman, terlebih situasi-situasi yang akan menghantarkan bahaya pada kehidupan manusia?, mungkin pengertian saya ini bisa saja salah, Islam adalah agama keselamatkan. Wallahu a’lam bissawab.
Oleh: AM As-Syifa’, Kader Hijau Muhammadiyah (KHM).