
Oleh: Agiel Laksamana Putra*
Ekologi di Indonesia dan Kemanusiaan
Garut, Jawa Barat – Kerusakan sosial-ekologi dan perubahan iklim telah melanda Indonesia dan berbagai Negara di belahan dunia. Hal ini yang mendasari kumpulnya beberapa aktivis lingkungan di Indonesia tepatnya di pesantren ekologi At-Thariq Garut – Jawa Barat, yang menggelar pertemuan dari berbagai kelompok agama, budaya, adat istiadat, akademisi, aktivis lingkungan dan banyak lainnya untuk mendiskusikan problem Lingkungan di Indonesia, berlangsung selama 2 hari pada (14-15 september 2019) kemarin.
Telah dirasakan berbagai dampak dari kerusakan lingkungan belakangan ini, yang tidak lain itu disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Paradigma serba instan yang ditanamkan kepada generasi kita saat ini, dimana juga mempermudah kapitalisme bergerak tak kalah besar menyumbang kerusakan sosial-ekologi di bumi ini. kapitalisme dengan berbagai macam wajah saat ini, mungkin ideologinya sudah final, namun upaya untuk melawannya haruslah terus bergerak, hal itu yang ditekankan Romo Adrianus suyadi, SJ (Kolese Hermanium serikat Jesus), pada saat penyampaian materi dalam acara. Pasalnya kerena para pemodal-pemodal rakus tak akan pernah peduli atas dampak yang mereka berikan, padahal dampak kerusakan alam pasti akan lebih banyak membuat masyarakat sekitar kian sengsara.
Agroekologi sebagai jawaban atas keresahan
Kita tengah mengalami problematika kehidupan yang luar biasa dan sangat kompleks, namun kita lupa bahwasannya jalan keluarnya itu sangatlah sederhana, jalan keluarnya itu ada pada diri kita sendiri, hal ini yang disebutkan Umi Nissa Wargadipura pendiri dan pengasuh pesantren ekologi. Tak lain persoalan kerusakan sosial-ekologi jalan keluarnya ialah menanam, jalan kluarnya melakukan hal-hal kecil yang nantinya berdampak baik dalam keberlangsungan hidup.
Hingga saat ini memang Indonesia masih banyak menyimpan persoalan agraria, mulai dari soal kepemilikan tanah, teknik bertani yang ramah lingkungan, pemanfaatan lahan dan konservasi tanah. Kerusakan lahan pertanian di Indonesia dimulai dengan sejak adanya modernisasi pertanian yang lebih dikenal dengan “Revolusi Industri”. Revolusi ini lebih membuat para petani bergantung pada pestisida, pupuk kimia, serta pertanian monokultur skala luas. Imbasnya, kondisi lahan menjadi semakin tandus, krisis dan tidak produktif.
Agroekologi adalah jawaban yang ditawarkan atas keresahan akibat dari revolusi hijau. Dimana sistem pertanian yang menjaga kelestarian ekosistem dan tentunya tidak mengedepankan ekonomi semata. Dalam konsep keseimbangan ekosistem, tanah juga memerlukan istirahat karena tanah juga hidup. Namun revolusi industri tidak mengenal tanah hidup, tanah terus-terusan dibajak tanpa henti. Inilah yang mendasari bahwasannya agroekologi adalah cara untuk menjaga ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dalam konteks Negara.
Deklarasi sebagai upaya melestarikan dan merawat alam atau hanya sebatas angan-angan?
Kita di pesantren ekologi menjadi mengenal bahwasannya markisa ada banyak jenisna tanpa harus disiram, bawang daun bias tiap hari dipetik asalkan kuat pupuknya yang hanya dari sampah-sampah organik dan berbagai macam khasiat tanaman serta buah-buahan yang dibudidayakan. Hal-hal seperti itu juga seharusnya ditularkan ke masyarakat utamanya pada para petani. Perlu akan adanya gerakan-gerakan ekologi sebagai anak yang lahir dari deklarasi pesantren ekologi Ath-thariq
Dimulai dari menanam pada lahan pekarangan rumah yang ada, kemudian mengajak petani mengenali sumber-sumber daya alam yang ada di tingkat lokal, seperti bahan baku pembuatan pupuk yang alami, pembuatan pakan alami, pestisida yang alami dan yang tak kalah penting pengembangan benih lokal yang telah teruji. Tidak sulit seharusnya, karena untuk bertani itu hanya butuh 2 hal, kata Kyai Ibang Lukmanurdin S,Ag. M.H yang juga pendiri pesantren Ekologi Ath-thariq bersama Umi, ialah; Nitrogen dan Karbon. Tanaman apapun itu akan tumbuh jika kedua syarat tersebut terpenuhi.
Oleh karena itu deklarasi Ath-thariq yang telah dilakukan agar tidak hanya menjadi angan-angan semata, perlu adanya gerakan untuk mengembangkan dan memperluas Agroekologi dimulai dari diri sendiri dengan menanam di lahan sekitar rumah, tentunya ini juga perlu akan adanya dukungan dari masyarakat luas dan pemerintah.
*) Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah Komite Surabaya