PIJARNews.ID – Muhammadiyah sebagai organisasi yang bisa dibilang kaya akan amal usaha yang biasa disebut Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, sampai ekonomi pun di miliki oleh Muhammadiyah. Maka, yang mengisi AUM pun pastinya orang yang bermacam-macam pula, bisa jadi dari mereka yang bukan ‘lahir’ dari Muhammadiyah.
Tulisan Sapari di kemuhammadiyahan.com pernah mengidentifikasikan empat tipe orang yang berada di AUM, tulisan tersebut juga pernah dikutip oleh Muhammadiyin Garis Lucu dengan lebih ringkas yang mengkategorikan tipe tersebut dengan 4A, yakni aktif yaitu mereka yang bekerja di AUM, dan dia juga aktif menjadi pimpinan atau anggota pimpinan ataupun anggota biasa Persyarikatan di berbagai level kepemimpinan, majelis/lembaga dan Organisasi Otonom (Ortom).
Selanjutnya tipe adaptif, yaitu mereka adalah para pekerja AUM yang bukan pimpinan atau anggota pimpinan namun mereka menyetujui prinsip dan dasar-dasar organisasi Muhammadiyah, serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari baik saat bekerja di AUM maupun di lingkungan keluarga atau masyarakat. Kemudian tipe apatis, mereka adalah para pekerja AUM yang menjalankan tugas sekedar untuk mendapatkan materi/pendapatan dan kurang tertarik atau bahkan tidak tertarik sama sekali untuk aktif di Persyarikatan, namun mereka tetap mendukung program-program Persyarikatan.
Terakhir adalah tipe antipati, yakni mereka yang anti terhadap faham dan segala kebijakan Persyarikatan. Tak jarang mereka adalah menganut faham/aliran yang tidak sejalan dengan faham keagamaan Muhammadiyah bahkan bertentangan. Mengapa mereka mau bekerja di AUM? Tidak lain minimal adalah motif ekonomi, bahkan yang berbahaya adalah motif politik untuk menjadikan AUM memperoleh harkat, pangkat serta derajat namun digunakan untuk kepentingan sendiri.
Guruku Ternyata Tidak Muhammadiyah
Melihat realita yang ada, memang banyak mereka yang berada di AUM namun tidak berideologi atau tidak bermuhammadiyah. Pengalaman saya pun seperti itu, saat di SMA Muhammadiyah saya diajar oleh seorang guru yang bisa dibilang menjadi aktivis di organisasi lain (diluar Muhammadiyah). Agak merasa aneh dan janggal, entah apa yang melatarbelakangi guru saya tersebut bisa mengajar dan diterima di sekolah Muhammadiyah, padahal ia tidak bermuhammadiyah. Namun itulah faktanya, dan itu sah-sah saja karena Muhammadiyah merupakan organisasi yang terbuka.
Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menghubungi pemangku kebijakan mantan sekolah saya tersebut, dengan maksud ingin mengabdikan diri. Namun ternyata lumayan sulit untuk saya kembali ke bangku sekolah itu, mungkin pertimbangannya karena saya dulu terlalu ‘nakal’ ketika SMA. Intinya, meski saya Muhammadiyah, namun saya sulit masuk di sekolah Muhammadiyah padahal saya adalah alumninya. Mungkin juga saya kurang memenuhi syarat, seperti profesionalitas ataupun lainnya, yang pasti alasan terbaiknya adalah “belum ada lowongan”, hehehe.
Hal ini pun membuat saya semakin bertanya-tanya, apa syarat menjadi guru di SMA atau sekolah Muhammadiyah? Kemudian saya pun iseng-iseng mencari di mesin pencari Google untuk mengetahui syarat menjadi guru di sekolah Muhammadiyah, ternyata yang menjadi urutan pertama adalah WNI (Warga Negara Indonesia) yang beragama Islam atau kualifikasi pendidikan (ijazah). Tentu saja dengan kriteria mempunyai integritas, kualitas (profesionalisme), dan mungkin ini bukan hanya di bidang pendidikan, tapi juga di AUM yang lain. Meski ada juga menempatkan memiliki komitmen terhadap prinsip-prinsip dasar perjuangan Muhammadiyah dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah pada salah satu poin, namun bukan poin yang utama.
Dari sini saya pun teringat dengan pesan dari KH. Ahmad Dahlan 107 tahun silam kepada para murid dan sahabatnya ketika mendirikan Muhammadiyah, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah”. Lalu bagaimana dengan guruku tadi yang secara kehidupannya sehari-hari tidak bermuhammadiyah, malahan beliau merupakan aktivis di organisasi lain, meski yang beliau ajarkan mata pelajaran umum. Yaiya juga sih, masak mau ngajar mata pelajaran Kemuhammadiyahan, yo gak iso hehehe.
Muhammadiyah Nunut Urip
Kalimat yang mungkin cocok bukan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah,” tapi berbalik “Hidup di Muhammadiyah, dan cari Penghidupan dari Muhammadiyah”. Mungkin dengan mengajar di sekolah atau pun bekerja di AUM meski bukan dari warga Muhammadiyah bisa dibilang menghidupkan Muhammadiyah pada AUM-nya, namun berada di AUM tetapi enggan bermuhammadiyah bisa dikatakan –maaf—hanya menjadi parasit dengan cuma mencari penghidupan di Muhammadiyah.
Kalau istilahnya mungkin Muhammadiyah-NU, NU yang dimaksudkan disini bukan nama sebuah organisasi, tapi nunut urip, yakni mereka yang hanya numpang hidup di Muhammadiyah. Hal ini sah-sah saja ketika kita melihat syarat untuk masuk di AUM tidak ada, atau bahkan jarang yang mencantumkan kader Muhammadiyah pada poin persyaratannya, dan mereka yang bukan Muhammadiyah tapi bekerja di Muhammadiyah tadi masuk di AUM karena profesionalitas.
Padahal jika melihat banyaknya AUM, ataupun proses perkaderan yang ada di Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, dan Pemuda Muhammadiyah, rasanya para AUM tidak kesulitan jika mencari kader yang kompeten, berkualitas, dan berintegritas bisa mengisi AUM yang ada. Memang untuk masuk ke sebuah organisasi tidak ada paksaan, namun mereka yang berada di AUM, seharusnya ada ikatan secara ideologis dalam konteks berorganisasi dan bekerja dalam amal usaha dibawah naungan organisasi, pastilah kita harus mempunyai ikatan secara ideologis.
Hal ini memang tidak bisa dipukul rata, karena organisasi seperti Muhammadiyah yang mempunyai AUM diberbagai daerah di Indonesia, pastilah AUM itu berdiri dilingkungan yang beraneka ragam. Seperti di wilayah Indonesia bagian timur, namun dibeberapa daerah tertentu seperti di Jawa, mungkin bisa mempunyai kebijakan dengan memasukan kalimat “kader Muhammadiyah” pada poin pertama syarat ketika akan masuk di AUM, tentunya dengan disertai bukti syahadah atau Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah (KTAM) ataupun KTA Organisasi Otonom (Ortom) Muhammadiyah.
Mungkin yang saya urai diatas ini termasuk dalam kategori “4A” yang apatis dan juga antipati, kalau kata Sapari dalam tulisannya tadi menyebutkan bahwa pengisi AUM dari tipe apatis dan antipati mereka hanya bermotifkan ekonomi (gaji) semata, sedangkan enggan menghidupkan dakwah Muhammadiyah secara organisasi dan ideologi. Hal itu yang terkadang menimbulkan permasalahan seperti tidak suka mengikuti kegiatan-kegiatan Persyarikatan sampai menentang kebijakan-kebijakan Persyarikatan.
AUM dari Muhammadiyah untuk Bangsa
Seperti kalimat KH. Ahmad Dahlan yang saya dengar di film Sang Pencerah (2010), “Tidak penting siapa kita, tapi bagaimana kita terhadap umat.”. Maka sebenarnya tidak heran, jikalau Muhammadiyah sangat berbaik hati dan mau menerima siapapun mereka para tenaga profesional, meski bukan orang Muhammadiyah. Maka keheranan saya di waktu SMA itu perlahan terjawab seiring berjalannya waktu, bahwa di beberapa AUM kemungkinan ada satu dua orang yang sebenarnya adalah aktivis, mempunyai faham, aliran, ideologi organisasi lain yang tidak sama atau bahkan bertentangan dengan Muhammadiyah. Karena di AUM dalam merekrut tenaga bersifat professional terbuka, yang mungkin dibeberapa AUM ada yang mengutamakan kader dan warga Muhammadiyah.
Ini menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak pilih kasih dalam memberi dan menerima, Muhammadiyah selalu ikut serta dalam membangun bangsa sejak lama. Namun sebaiknya AUM memang diisi oleh para kader atau warga Persyarikatan sendiri, toh banyak para kader yang mempunyai kualitas dan profesionalitas dalam bekerja, dan juga integritas. Karena ketika para kader berada di AUM, maka mereka tidak hanya bekerja, tapi juga berdakwah dan sebagai agen ideologi Persyarikatan.
Dengan adanya orang luar Muhammadiyah, apalagi seorang aktivis organisasi lain di AUM akan lebih rentan timbulnya masalah. Bahkan bisa jadi mereka (yang tidak berideologi Muhammadiyah tapi bekerja di AUM) bisa membawa faham yang mereka anut ke dalam AUM dan hal-hal lainnya yang bertentangan dengan ketetapan Persyarikatan, terlebih pada AUM bidang pendidikan, akan sangat rawan.
Contohnya saja dalam hal beribadah atau hal lainnya yang secara prinsip beda dan bahkan cenderung bertentangan dengan Muhammadiyah, apalagi kalau orang yang ada di AUM tersebut masuk kedalam tipe antipati, bisa jadi mereka tidak tahu terima kasih dan bisa jadi menjelekan AUM atau Muhammadiyah ketika mereka berada di luar sebagaimana kata Sapari dalam tulisannya tadi yang saya sependapat dengan hal ini.
Mungkin ini dianggap su’udzon, tapi demi keberlangsungan dakwah di Muhammadiyah khususnya di AUM, maka ada baiknya Muhammadiyah lebih berhati-hati dalam hal ini. Saya jadi teringat pesan Pak Din Syamsuddin saat hadir di Lamongan (27/10/2019) tentang hakikat bermuhammadiyah, Pak Din menyampaikan, hakikat ber-Muhammadiyah adalah mencari ridha Allah. “Di Muhammadiyah, semua dilakukan hanya untuk mencari ridha Allah, tidak ada selain itu. Kalau pun ada, ia akan akan terpelanting atau dipelanting. Makanya orang Muhammadiyah tidak ada yang meminta jabatan,” sebagaimana yang saya tulis di pwmu.co.
Oleh karena itu, bagi mereka para tipe apatis dan antipati yang ada di AUM yang tidak suka Muhammadiyah secara ideologi khususnya dan di Muhammadiyah, menjadikan AUM hanya sebagai ‘batu loncatan‘ untuk sebuah pangkat (jabatan), atau demi menghidupi dan kepentingan diri sendiri, baiknya tinggalkanlah AUM dan pilihlah tempat yang sesuai faham dan ideologi yang dianut.
Janganlah menjadi ‘benalu’ di AUM dan Persyarikatan karena bisa menimbulkan fitnah dan dosa, baiknya mundurlah secara terhormat, jika kehadiranmu hanya menjadi ‘duri dalam daging‘ di tubuh Persyarikatan. Karena jadi kader dan orang yang ada di Amal Usaha Muhammadiyah itu berat, kamu nggak akan kuat, ragu dan bimbang lebih baik pulang (ke faham dan ideologimu).
Editor: Ahmad