Menu

Mode Gelap
Saud El-Hujjaj : Lima Hal untuk Melihat Konflik di Timur Tengah Komunikasi UMM Latih SMA Muhammadiyah 1 Denpasar Membuat Video Pendek Kuliah Tamu Prodi Sosiologi: Persiapan Indonesia Menuju Negara Industri Sinergisitas AUM Tingkatkan Kualitas Pendidikan Muhammadiyah SMA Muga Parengan Hidupkan HW Melalui LKP

Kolom · 15 Nov 2023 07:58 WIB ·

MEMAKNAI KEMBALI PAHLAWAN BANGSA BAGI MILENIAL


					Penulis : Ikhrotul Fitriyah (Staf Jurusan Hubugan Internasional UMM, Peneliti di Renaissance Political Research & Studies (RePORT)) Perbesar

Penulis : Ikhrotul Fitriyah (Staf Jurusan Hubugan Internasional UMM, Peneliti di Renaissance Political Research & Studies (RePORT))

Peringatan hari pahlawan merupakan rutinitas tahunan yang terus-menerus dirayakan sebagai pengingat bahwa bangsa ini tidak hadir secara taken for granted – melainkan lahir dan tumbuh berkembang melalui cita-cita The Founding Father yang terus diperjuangankan. Jika menengok kembali sejarah bangsa Indonesia, maka peristiwa yang mengawali adanya rasa persatuan ‘senasib sepenanggungan’ ialah momen Sumpah Pemuda. Kesadaran akan kebutuhan persatuan nasional yang kuat, keluar dari cengkeraman kolonialisme dan menuju Indonesia merdeka merupakan sebuah cita-cita besar. Menukil Benedict Anderson, bahwa adanya kesamaan rasa penindasan, keinginan atas persatuan dan membayangkan sebuah komunitas bersama untuk hidup yang lebih baik merupakan dasar kuat rasa nasionalisme rakyat kala itu.

Pilgub Jatim 2024

Perjuangan para generasi muda untuk mewujudkan Indonesia merdeka tidak berjalan secara linier dan mudah, salah satu bentuk perjuangan itu ialah memperkuat kapasitas diri dengan mengenyam pendidikan tinggi diberbagai jurusan dan dengan telibat aktif dalam organisasi yang secara kolektif kolegial menumbuhkan semangat perjuangan. Arti penting pendidikan saat itu merupakan hal yang vital untuk mempersiapkan sebuah pembentukan negara yang berdaulat.

 

Dekonstruksi Maskulinitas Pahlawan

Sejarah ditulis oleh para pemenang kiranya begitu adagium yang sering kita dengar. Membayangkan pahlawan bangsa seolah imajinasi kita dibawa pada masa perang revolusi 1945 atau bahkan lebih jauh lagi dari itu, dimana keterlibatan peran perempuan pada masa-masa pra Indonesia merdeka atau pada masa perjuangan revolusi fisik terkesan nihil dan terpinggirkan.

Hal ini merupakan dilema sejarah, disatu sisi sebuah hal yang tidak mengherankan, tapi disisi lain merupakan hal yang terkonstruksi secara massif oleh rezim negara. Tidak keliru jika kita membayangkan bahwa peran perempuan dalam sejarah bangsa seolah absen dari rekam jejak sejarah, hal ini tidak lepas dari meminjam istilah Julia Suryakusuma Ibuisme Negara yang dipropagandakan secara massif di era rezim orde baru. Belum lagi memori bangsa hanya dingatkan sebuah peristiwa Sumpah Pemuda sebagai peristiwa sakral – padahal tidak lama berselang ada sebuah peristiwa besar bagi kaum perempuan yaitu Kongres Perempuan Pertama Indonesia pada 22 desember 1928. Dikemudian hari peristiwa besar ini disimplifikasi dengan ditetapkan sebagai perayaan Hari Ibu.

Tentu hal ini merupakan fatalitas dalam sejarah, karena berimplikasi penting bahwa perempuan hanya dijadikan konco wingking dalam arus sejarah bangsa, terkesan tidak memiliki dampak yang signifikan, hanya manusaia kelas kedua yang sekedar berurusan dengan masak, macak, manak atau dapur, sumur dan kasur. Catatan sejarah maskulin direpoduksi secara menerus selama rezim orde baru berkuasa, terlebih ketika pelembagaan Dharma Wanita dan PKK sebagai ruang aktualisasi kaum perempuan saja. Pelembagaan ini tidak leas dari peristiwa kelam sejarah masa lalu bangsa Indonesia, seiring sejalan dengan repoduksi cultural bahwa seorang perempuan yang memiliki kesadaran progresif dan berpikiran diangap anomali sesuatu yang seolah keluar dari kodratnya.

Sejalan dengan gelombang emasipasi perempuan dan kesetaraan gender, maka sudah sepatutnya kita menyelami jejak-jejak pahlawan perempuan yang tidak kalah heroiknya dengan apa yang telah diperjungkan oleh pahlawan laki-laki dalam pergerakan kebangsaan baik semasa Pra-Indonesia sampai revolusi fisik 1945. Kita mengenal Raden Ajeng Kartini karena sosoknya menjadi abadi dalam peringatan setiap tanggal 21 April. Pahlawan nasional perempuan lainnya adalah Martga Christina Tiahahu, Hj. Siti Walidah, Nyi Ageng Serang, Maria Walanda Maramis, Rasuna Said, Raden Dewi Sartika, Cut Nyak Meutia, Cut Nyak Dhien, dan tentunya masih banyak lagi yang belum abadi dalam catatan sejarah dan tidak mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Bangsa ini berhutang teramat banyak pada kaum perempuan, setidaknya di masa-masa revolusi fisik, kaum perempuan dijadikan jugun ianfu atau pemuas nafsu serdadu jepang. Sebuah pengorbanan yang tidak bisa dianggap remeh karena tidak mudah bagi kaum perempuan melewati stigmatisasi bangsanya sendiri. dan seterusnya mengisi kemerdekaan dengan ikut berkontribusi dalam berbagai bidang mulai sosial, budaya, ekonomi bahkan politik.

 

Arti Para Pahlawan, Sebuah Renungan untuk Milenial

Bagi kita kaum milinial, tak ada salahnya merenungi kembai makna pahlawan khususnya pahlawan perempuan yang namanya tidak sebanyak laki-laki dalam catatan sejarah bangsa. Tidak dapat dipungkiri memang budaya patriaki masih mencongkol dalam masyarakat kita. Kesetaraan gender memang masih menjadi persoalan yang pelik, tetapi Seiring dengan tingkat pendidikan yang semakin baik dan tuntutan dunia internasional melalui urgensi mengiplementasikan kesetaraan gender melalui SDG’s, perempuan sama hanya dengan laki-laki memiliki kedudukan dan hak konstitusional secara utuh melalui ratifikasi CEDAW dalam UU No.7 Tahun 1984 bahwa negara akan melakukan upaya semaksimal mungkin menghapus segara bentuk diskriminasi terhadap perempuan sehingga seharusnya kehadiran perempuan jangan hanya dikalkulasi dengan kuantitas semata-mata untuk mengisi pos-pos kuota 30 persen tetapi harus lebih dari itu perempuan harus menjadi aktor yang setara dengan laki-laki dalam aspek pembangunan karena kiprahnya tentu tidak bisa dinafikkan mengingat  presentasi jumlah penduduk tidak jauh berbeda antara penduduk laki-laki 54,48 persen dan penduduk perempuan 49,52 persen di tahun 2022.

Kami generasi milenial memandang bahwa pemerintah untuk lebih peka terhadap kebijakan yang responsif gender dan mendorong semakin masif pengarusutamaan gender dalam pelembagaan dan lingkungan kerja guna mewujudkan target SDG’s 2030. Dan kami para generasi milinial percaya cita-cita tersebut nyata adanya apabila kita bersinergi dan saling mendukung dengan semua pihak disamping menguatkan kemitraan antara perempuan dan laki-laki sebagai subjek pembangunan.

Kami percaya sinyal positif akan terus memancar mana kala perempuan berdaya. Dengan memberdayakan perempuan, tentunya perempuan dapat memiliki akses yang lebih luas. Perempuan juga dapat berpartisipasi untuk ikut serta menentukan arah pembangunan dan akhirnya mendapatkan manfaat pembangunan yang sama dengan laki-laki. Untuk memaknai hari pahlawan, kaum perempuan harus memiliki jiwa kepemimpinan dengan sosok yang kuat, tegas dan berdaya karena sejarah telah membuktikan kiprah dan sumbangsih perempuan untuk bangsa dan negara.*

*Penulis : Ikhrotul Fitriyah (Staf Jurusan Hubugan Internasional UMM, Peneliti di Renaissance Political Research & Studies (RePORT))

Artikel ini telah dibaca 116 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

Asistensi Mengajar-Kampus Merdeka, jembatan menuju Guru Profesional

15 September 2024 - 19:20 WIB

Dekonstruksi Maskulinitas Politik Jawa Timur

29 Agustus 2024 - 21:28 WIB

Kepada UMPO : Harapan itu Sampai Pada Kenyataan atau Hanya Harap

2 Juni 2024 - 08:51 WIB

Bangkitkan Pendidikan, Merdeka dalam Belajar

1 Mei 2024 - 19:21 WIB

PEMILU 2024 : ANTARA POLITIK DAN ETIK

16 Maret 2024 - 22:18 WIB

Pilpres 2024, Bukti Kedewasaan Demokrasi

15 Maret 2024 - 20:14 WIB

Trending di Kolom