PIJARNews.ID – Kalau kita flash back ke belakang di masa revolusi kemerdekaan negara Indonesia, Bung Karno pernah menyebut tiga jenis pemuda yang berjuang melawan Imprialisme dan Kolonialisme guna mengusir penjajah di Indonesia, yaitu pemuda militan, pemuda patriot dan pemuda revolusioner.
Karena dalam segi literatur, jiwa mereka telah terpanggil oleh suatu keadaan di mana ada hal ketidakadilan dalam suatu sistem pemerintahan, yang pada akhirnya situasi tersebut bersifat “natural organik”, hampir sama dengan situasi negara kita saat ini walaupun beda problematika, beda iklim politik dan beda zaman.
Namun yang saya ingin tulis adalah, natural berarti mencerminkan suatu keadaan yang terbilang matang, di mana ada kerusakan politik, kerusakan ekonomi, sosial dan ketidakadilan dalam ranah hukum secara nyata telah ada dalam realitas masyarakat kontemporer, dan itu semua sudah terjadi dan berjalan di rezim sekarang ini.
Organik berarti kesadaran atau bisa disebut partisipasi dalam melawan/menentang berbagai cara dengan adanya ketidakadilan yang sedang berlangsung, layaknya seprti air di sungai yang sangat deras.
Nah ketika demontransi telah turun jalan, dan telah masif terjadi di berbagai pelosok negeri, mulai dari gerakan mahasiswa, buruh, dan siswa STM. Secara paradigma mereka telah melakukan gerakan moral pada bangsanya sendiri.
Namun pada faktanya ketika politisi mengatakan demokrasi berazas kebebasan, kenapa pembungkaman di lapangan ataupun tindakan refresif terhadap demontran terus terjadi. Bahkan jurnalis tak luput dari tindakan represif. Padahal secara garis besar yang namanya “pihak keamanan” mereka harusnya bersifat netral karena mereka alat negara, tidak lebih, dan secara normatif aparat harus melakukan segala tindakan sesuai dengan SOP.
Bahkan mungkin jika founding father kita masih hidup, saya berpikir beliau akan akan menangis melihat buku-bukunya dijadikan barang bukti sebagai tindakan kriminal (contoh bukunya Tan Malaka).
Bahkan kalau kita lihat dari berbagai media massa, pemberitaan hanya terfokus pada perusakan fasilitas umum yang ada, tanpa melihat dari sudut pandang lain secara fundamental atas karena apa mereka merusak? karena apa kok sampai di rusak?, dan yang paling penting apakah benar secara keseluruhan demonstran yang merusak atau ada sesuatu hal lain di belakannya, yang ada hanyalah “kaum demo telah merusak fasilitas negara”, padahal disisi lain sang pemangku kebijakan bisa saja merusak moralitas bangsa dengan cara-cara yang mereka ingingkan, tanpa harus menyentuh. Agar dapat melanggengkan kekuasaan.
Di India tatkala Mahatma Gandhi pernah menentang kolonialisme Inggris juga telah terjadi “civil disobedience” atau pembangkangan sipil, perlu di ketahui melalui gerakan moral seperti Ahimsha dan Swadeshi. Contoh lain adalah gerakan marthin luther king Jr, di Amerika yang menuntut hak-hak sipil melalui cara damai.
Dengan penjelasan saya di atas sudah jelas, bahwa gerekan moral sebenarnya adalah hal yang sangat lazim bagi siapa pun yang terketuk hati nurani, perihal keserahakan, ketidakadilan, pembungkaman, dan kerusakan di ranah negara mauapun non negara. maka tidak salah jika Profesor seperti Bertrand Russel, Profesor Michel Foucault, Profesor Noam Chomsky, Profesor David Graeber, pernah melakukan perlawanan di jalanan lewat demonstrasi.
Karena sejatinya orang indonesia telah berevolusi menjadi bangsa yang cinta damai, toleran terhadap perbedaan dan memiliki local wisdom, namun stigma buruk bisa terjadi guna memecah belah demi kepentingan segilintir elit politik yang telah di mainkan oleh media massa, maupun bagi media meinstream yang tak menyampaikan fakta sesungguhnya yang telah terjadi di lapangan, terutama bagi elit kekuasaan yang menjadi komparador demi keuntungan politik praktis.
Oleh sebab itu yang terjadi dalam demokrasi kita sekarang ini memang berkonsep kekuasaan oligarkis. Menurut Ranciere bukan bahwa sedikit orang yang memerintah secara bebar-benar dapat mewakili kepentingan rakyat, yang sungguh-sungguh terjadi adalah para oligarkis itu dalam kenyataan nya lebih berminat untuk memperluas lingkup kekuasaan mereka dari dominan privat menuju dominan publik.
Karena Demokrasi menurut kerangka berpikir Ranciere adalah rekonsolidasi batasan privat dan publik, universal atapun partikular. Dalam konsolidasi itu terjadi perluasan dimensi penyelenggara kekuasaan sehingga semua hal akhirnya menjadi urusan publik. Namun jadi urusan publik bukan berati menjadi obyek perlindungan dan pelayanan negara.
Tetapi menjadi obyek pelaksanaan kekuasaan dan kontrol para oligarki yang sesungguhnya lebih bertindak dan memutuskan secara instrumentalistik-partikularistik atas urusan publik tersebut. Demokrasi disini dirumuskan oleh pemikiran Ranciere yang sudah saya tangkap memang secara realitas terjadi saat ini di negara kita adalah sebagai kombinasi aneh antara esensi munalitas politik dengan esensi keuntungan dan kepentingan partikular individu dalam ruang publik liberal yang sedemikian rupa dideterminasi oleh tangan-tangan tak terlihat yang selalu bertindak bedasarkan kesesuaian dengan kepentingan nya sendiri.
Dengan begitu sudah jelas kita sebagai rakyat jangan mau bangsa ini dipecah-belah oleh mereka. Jangan mau rakyat dipecah belah, kepada mereka yang mengatasnamakan kesejahteraan pada rakyat, yang di mana kita di suruh milih mereka sekali dalam 5 tahun, namun dalam implementasi nya kita ternyata disuruh diam juga selama 5 tahun.
Bahkan Bung Karno atau bapak Proklamasi itu pun secara logika hanya mengantarkan negara ini menuju pintu kemerdekaan saja tidak lebih, sejatinya yang memerdekan secara penuh adalah bangsa nya itu sendiri.
Indonesia hari-hari belakangan ini sedang diuji oleh sejarah, sedang diuji sebagai sebuah bangsa yang berdiri di atas dasar persatuan dan kesatuan.
Bangsa ini tidak akan hancur karena kemajemukannya, bangsa ini tidak akan hancur karena alamnya berada di wilayah ring of fire, bangsa ini hanya akan hancur karena perbuatan elit kekuasaannya yang berkhianat kepada rakyat.