Menu

Mode Gelap
Saud El-Hujjaj : Lima Hal untuk Melihat Konflik di Timur Tengah Komunikasi UMM Latih SMA Muhammadiyah 1 Denpasar Membuat Video Pendek Kuliah Tamu Prodi Sosiologi: Persiapan Indonesia Menuju Negara Industri Sinergisitas AUM Tingkatkan Kualitas Pendidikan Muhammadiyah SMA Muga Parengan Hidupkan HW Melalui LKP

Opini · 8 Mar 2020 08:42 WIB ·

Omnibus Law Bikin Pekerja Perempuan “Cilaka”, Mungkinkah?


					Cicioo Subakti, S.IP. (PIJARNews.ID) Perbesar

Cicioo Subakti, S.IP. (PIJARNews.ID)

PIJARNews.ID – Lagi-lagi sosok pemimpin kontroversial Joko Widodo menyampaikan titahnya yang tidak kalah kontroversial. Jika sebelumnya Undang-undang KPK yang hangat dan seksi menjadi perbincangan, maka kali ini pembentukan Omnibus Law yang terkesan ugal-ugalan karena harus selesai dalam waktu 100 hari. Setelah kegagalan pemerintah merevisi undang-undang Ketenagakerjaan, pemerintah seolah menjawab kegagalan tersebut dengan dibuatnya terobosan baru dengan kebijakan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (CILAKA).

Pilgub Jatim 2024

Omnibus Law masuk kedalam agenda program legislasi nasional (PROLEGNAS) yang dibuat untuk menyasar isu besar, yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa undang-undang sekaligus menjadi lebih sederhana. Omnibus law digadang-gadang akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun,  terdapat konsekuensi logis yang didapatkan oleh pekerja perempuan jika undang-undang omnibus law ini diberlakukan. Konsekuensinya yaitu diskriminasi upah, dimana perspektif pekerjaaan dibatasi oleh gender.

Adanya pandangan terhadap rendahnya partisipasi perempuan itu sendiri karena kerja reproduksi (seperti cuti melahirkan dan cuti haid), yang mengakibatkan terjadinya pendiskriminasian terhadap upah yang lebih murah kepada pekerja perempuan, terutama pada sektor manufaktur. Hal ini sengaja dijadikan landasan berpikir para pengusaha disektor ini untuk meraup keuntungan.

Selanjutnya mengenai fleksibilitas upah dan jam kerja, dalam hal ini lagi-lagi perusahaan bermain kotor dengan cara membuat sistem kejar target. Perusahaan menetapkan target produksi tertentu yang jika dipenuhi akan mendapat upah minimum, dan jika tidak memenuhi target maka buruh tidak akan mendapat upah minimum. Selain itu, praktik ini dilakukan untuk menghindari sanksi pidana yang diatur oleh undang-undang ketenagakerjaan bagi perusahaan yang lalai membayar upah minimum.

Tarik ulur revisi undang-undang ketenagakerjaan sebelumnya juga selalu beriringan bagaimana negara ingin menfleksibilitaskan baik sisi upah dan jam kerja. Kepentingan yang dimotori oleh sektor privat yang ingin menekan biaya produksi melalui upah buruh. Diskriminasi terhadap upah buruh perempuan akan melonjak jika fleksibilitas baik upah dan jam kerja diberlakukan yang termasuk di dalam Omnibus law cipta lapangan kerja ini. Pekerja lepas dan pekerja tidak tetap termaksud bentuk pekerjaan rentan.

Internasional Labour Organization (ILO) melaporkan bahwa pekerja Indonesia rentan mencapai 57,6% dari komposisi tersebut, presentase buruh perempuan yang bekerja rentan lebih tinggi, atau sebesar 61,8% dibandingkan buruh laki-laki 54,9%. Hal ini kemudian juga menuai kontra dan diprotes sejumlah pihak termaksuk aktivis perempuan.

Beberapa waktu lalu, Koordinator Nasional Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Partiwi mengungkap penolakannya terhadap revisi undang-undang cipta lapangan kerja tersebut. Ia menilai jika rancangan tersebut bisa merugikan pekerja perempuan, termasuk hilangnya hak cuti hamil selama tiga bulan. Dikatakan jika dalam sejumlah hal pada omnibus law cipta lapangan kerja tidak menyebutkan kata perempuan. “Bahwa tidak ada satupun pasal yang terdapat kata perempuan dalam RUU yang beredar. Tidak ada satu kata pun yang menyebutkan perempuan sebagai tenaga kerja yang berkontribusi terhadap produksi”, ujar Ika di gedung LBH jakarta, jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu (19/1/2020).

Dilansir dari detik.com, hal lain yang disoroti aktivis perempuan dalam RUU omnibus law cipta lapangan kerja tersebut adalah untuk hak cuti hamil yang tidak dijelaskan secara spesifik. Hal tersebut tentu bisa merugikan perempuan karena cuti biasanya diberikan sebelum dan sesudah melahirkan total selama tiga bulan bisa jadi dihilangkan. “Di Undang-undang nomor 13 tahun 2003, hak-hak perempuan disebutkan normatif, (pekerja) melahirkan dapat cuti 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Di omnibus law itu tidak ada”, kata Ika.

Hal ini menunjukkan sejumlah hak perempuan tampak dianggap mengganggu fleksibilitas investasi pemerintah sehingga tidak hadir dalam rancangan undang-undangan itu. Padahal pemenuhan hak pekerja perempuan yang dilakukan dengan baik dapat berimbas baik terhadap iklim investasi. Disinilah kita melihat bahwa hak perempuan dianggap sangat mengganggu fleksibilitas, yang paling sering menjadi tuntutan misalnya hak hamil, hak khusus saat hamil, hak mendapatkan cuti saat melahirkan, dan cuti haid.

Hal-hal inilah yang bertentangan dengan logika investasi. Selain cuti melahirkan, RUU omnibus law yang dianggap merugikan perempuan adalah terkait cuti haid yang juga tidak disebutkan. Dalam pasal 81 undang-undang ketenagakerjaan ayat (1) disebutkan bahwa; “pekerja buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit tidak wajib bekerja pada hari hari pertama dan kedua pada waktu haid”. Selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan bahwa; “pelaksanaan cuti haid tersebut diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”. Namun pada sistem pengupahan yang bisa berubah dan berbasis produktivitas dalam RUU “sapu jagad” tersebut, cuti perempuan saat hamil ataupun haid menjadi tidak berbayar.

Sudah seharusnya kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan yang dibuat oleh pemerintah mempertimbangkan dan melindungi kepentingan hak serta kesejahteraan pekerja perempuan baik material maupun non materil. Sistem ini tak akan berubah jika kita tak bergerak melakukan perubahan. Selain itu perempuan wajib berkolektif dengan perempuan lainnya untuk melawan sistem yang terus menindas perempuan. Kita harus saling mendukung dan berbagi ruang. Ayo berkumpul bersama perempuan lainnya di kotamu dan tunjukkan pada negara bahwa perempuan berhak menolak Omnibus Law yang bisa bikin perempuan “Cilaka”!.

(Penulis adalah Mahasiswi S2 Jurusan Ilmu Politik di Universitas Airlangga. Tulisan ini sebelumnya juga pernah terbit di www.empuan.id pada 2 Maret 2020)

Artikel ini telah dibaca 17 kali

Baca Lainnya

Asistensi Mengajar-Kampus Merdeka, jembatan menuju Guru Profesional

15 September 2024 - 19:20 WIB

Dekonstruksi Maskulinitas Politik Jawa Timur

29 Agustus 2024 - 21:28 WIB

Kepada UMPO : Harapan itu Sampai Pada Kenyataan atau Hanya Harap

2 Juni 2024 - 08:51 WIB

Bangkitkan Pendidikan, Merdeka dalam Belajar

1 Mei 2024 - 19:21 WIB

PEMILU 2024 : ANTARA POLITIK DAN ETIK

16 Maret 2024 - 22:18 WIB

Pilpres 2024, Bukti Kedewasaan Demokrasi

15 Maret 2024 - 20:14 WIB

Trending di Kolom