Editor: Suhartatok
PIJARNews.ID – Jika saya pikir lebih mendalam, kasihan juga pak polisi saat ikut mengawasi demonstrasi mahasiswa. Korps berbaju coklat itu harus berhadapan dengan demonstran. Tak sedikit diantara mereka yang menderita luka-luka. Mereka juga mempunyai keluarga yang setiap saat cemas atas keselamatan dirinya.
Saya tidak bermaksud membela polisi secara membabi buta. Saya hanya mencoba melihat dari sisi lain. Coba bayangkan jika Anda punya keluarga yang menjadi polisi. Itu saja. Bagaimana kecemasan mereka saat berada di rumah?
Ada sementara orang yang menyangkal dan mengatakan karena memang itu sudah menjadi tugas polisi. Itu risiko tugas. Apapun yang terjadi, mereka, polisi akan menjalankan tugas sebagaimana yang sudah diperintahkan pimpinannya.
Mereka tak banyak yang tahu, apa yang menjadi akar masalah dan kenapa harus berhadapan dengan para demonstran. Yang diketahuinya, mereka menjalankan perintah. Itu wujud kepatuhan yang memang sudah digariskan dalam institusinya. Tak mungkin dibantah. Itu soal Komando Satu Rasa (Korsa).
Polisi memang tugasnya menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Juga melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat. Tugas mulia memang. Namun, dalam soal demonstrasi tak jarang masih dipahami secara sepihak oleh polisi. Demonstrasi masih dianggap sebagai kegiatan yang mengancam ketertiban dan keamanan.
Maka, bagaimana caranya demonstrasi bisa “dikelola” dengan baik. Tentu polisi mengharapkan demonstrasi berjalan tertib. Itu harapannya. Tetapi, harapan tidak selamanya bisa dicapai dengan baik. Mereka harus siap-siap jika seandainya demonstrasi berjalan rusuh. Tanggung jawab adanya rusuh dan tidak ada di tangan mereka. Karena merekalah yang mengklaim sebagai penjaga ketertiban dan keamanan.
Bisa dibayangkan bagaimana panasnya bertugas di lapangan? Sejak sebelum “mengawasi” pelaksanaan demonstrasi mereka harus berkoordinasi. Harus hadir lebih dahulu. Harus siap pada pilihan terakhir seandainya timbul kericuhan. Semua itu harus diantisipasinya.
Bagaimana dengan tunjangan mereka di lapangan? Saya tentu tidak tahu persis. Tentu itu kerja diluar aktivitas resminya. Dan tentu ada gaji tambahan. Tentu lagi, negara tidak akan tinggal diam, karena mereka berada di garda terdepan dalam usaha memelihara ketertiban dan keamanan. Dan nyawa pun menjadi taruhannya. Tetapi apakah sedemikian mudahnya?
Kena Getahnya
Polisi di lapangan kadang tidak tahu apa-apa yang sedang disengketakan, sehingga mereka harus mengawasi demonstrasi. Mereka hanya menjalankan tugas. Soal UU Omnibus Law juga bisa jadi tak banyak tahu. Ibarat pepatah ora mangan nangkane, kena pulute (tidak makan nangkanya tetapi kena getahnya). Sebab, protes UU Omnibus Law itu sumbernya bukan dari polisi, yang mereka tahu hanya menjalankan tugas sesuai perintah dari atasan.
Tindakan polisi bisa jadi hanya sebuah akibat, bukan sebab. Sebabnya ada pada sekelompok elite politik dan kaum oligarki yang berkepentingan pada UU Omnibus Law. Jika harus memilih, tentu mereka tidak mau ikut menghalau demo. Tetapi karena sudah menjadi tugasnya sebagai “pasukan” negara, tak ada pilihan lain.
Polisi yang di lapangan juga bisa jadi dilematis. Misalnya, apakah demonstrasi itu harus dibubarkan? Apakah demonstrasi itu harus dipukul mundur? Tentu saja, jika sudah anarkis mereka akan menghalau demonstrasi. Mengapa? Ketertiban dan keamanan sudah menjadi tanggung jawabnya.
Mereka hanya melaksanakan tugas mengatasi. Soal siapa yang menyulut, siapa yang menyusup juga tidak tahu. Tugasnya hanya memelihara ketertiban dan keamanan. Perkara apakah ada “aparat negara” menyusup ke demonstrasi dan ikut membakar fasilitas umum mereka juga tak (mau) tahu. Tahunya meredam kekerasan.
Sementara itu, bisa jadi sumber utamanya pada penyusup itu. Penyusup bisa jadi kelompok liar yang memang sengaja mengacau atau disusupkan “negara” agar mudah menuduh bahwa demonstrasi telah ditunggangi. Hanya demonstran yang ada di lapangan dan polisi yang biasanya tahu soal ini.
Masyarakat tahunya hanya membaca dari media. Ada penyusup. Tetapi, penyusup itu dari mana dan siapa sebenarnya, kelompok mana yang “membuat skenario” tidak banyak diungkap. Ini tidak menuduh bahwa intel polisi itu sengaja menyusupkan anggotanya ke demonstrasi. Bukan begitu. Tetapi peluang untuk itu tetap ada.
Untuk menekan demo mahasiswa, ada kalanya juga dilakukan dengan cara bagaimana agar mahasiswa menjadi pihak yang tertuduh. Jika demo rusuh maka mahasiswa akan mudah untuk dituduh. Padahal, itu perilaku penyusup di kumpulan demonstran. Namun, tuduhan apapun yang dialamatkan, kadang tidak menyurutkan mahasiswa melakukan demonstrasi. Ini mungkin soal logika yang berbeda antara mahasiswa peserta demo dan polisi sebagai pihak yang wajib ikut mengatasi kerusuhan.
Kemudian jika demonstrasi rusuh, sementara polisi di lapangan tidak bisa mengatasinya, nanti bisa “dimarahi” atasan. Jika tidak bisa mengatasi karena menghindari tindak kekerasan, polisi juga serba salah. Mereka juga akan disalahkan atasan. Jadi, berbuat keras sering salah, tidak berbuat keras, tetapi demo rusuh juga tetap salah. Serba dilematis memang.
Dilema
Sekali lagi itu kacamata saya dari pihak polisi. Tentu saja subjektif. Kacamata dari demonstrasi juga sudah sering saya tulis di media. Saya hanya mengajak dan merasakan apa yang dialami polisi saja. Lepas dari fakta bahwa hal demikian sudah menjadi tugas dan kewajibannya.
Apakah dengan demikian saya mengajak atau melarang demonstrasi? Tidak juga. Demonstrasi selamanya hak warga negara. Demonstrasi hanya sebuah akibat bukan sebab. Masalahnya orang sering hanya fokus mengatasi akibat, bukan sebab. Termasuk di sini mengapa mahasiswa demonstrasi? Harusnya dicari sebabnya, bukan akibatnya semata.
Jika negara tidak berusaha mencari sebab utama munculnya demonstrasi, selamanya pak polisi akan berada dalam posisi yang serba salah dalam menghadapi unjuk rasa mahasiswa. Jangan-jangan yang ada dalam demonstrasi itu ada anaknya atau anggota keluarga yang lain? Maka carilah sebab bukan akibat semata. Kasihan pak polisi bukan?.