PIJARNews.ID – Pandemi Covid-19 ternyata mempengaruhi pada pola hidup di segala lini. Pada lini kesehatan, orang peduli terhadap cuci tangan dan pakai masker. Praktek ibadah ‘terpaksa’ mengikuti protokol kesehatan. Mulai salat jama’ah di masjid, salat idul fitri di lapangan yang dianjurkan di rumah hingga silaturahmi keliling masa bulan syawal.
Terkait praktik ibadah tentu melebar hingga pendidikan agama di sekolah. Dimana tidak bisa terlepas dengan praktik ketika peserta didik ada di rumah dan lingkungan sekitar. Mereka bertanya kenapa tidak bisa salat jamaah lagi di masjid, harus salat idul fitri di rumah dan tidak bisa berkunjung dengan leluasa selama syawal. Tahun-tahun sebelumnya bisa berkunjung ke saudara dan mendapat amplop.
Pendidikan agama secara khusus terwakili oleh pendidikan agama Islam (PAI) yang berjalan secara daring selama pandemi ini. Tugas, baik berupa materi dan praktik dikirim lewat WhatsApp (WA). Tugas teori cukup dikirim balik lewat WA berupa foto atau file word. Tugas praktek, misal hafalan Qur’an dan Shalat direkam dan dikirim balik lewat WA berupa video. Ada perubahan metode pembelajaran dengan media yang berubah pula.
Tentu saya sebagai guru PAI mengalami ketidakpuasan terhadap praktek pembelajaran demikian. Ada jarak yang cukup lebar antara guru dan murid. selain itu pendidikan agama tidak sekedar tahu akan pengetahuan agama. Ada nilai yang seharusnya tertanam dengan baik kepada peserta didik.
Siapa yang menjamin transfer nilai tercapai dengan baik? Jika orang tua memiliki kepedulian terhadap pendidikan agama, mungkin bisa tidak ada masalah. Namun jika sebaliknya, ini menjadi problem sendiri. Sebagai guru yang mendapat tanggung jawab untuk mencerdaskan peserta didiknya yang tidak sekedar mengajar namun mendidik mendapat beban sendiri. Maka perlu ada terobosan dalam proses pembelajaran PAI selama Covid-19.
Mulai dari mana terobosan itu? Yaitu dari keraguan terhadap apa yang dilakukan selama pandemi ini. De omnibus dubitandum yang berarti segala sesuatu harus diragukan (Rene Descartes: 2015). Apapun yang datang kepada kita atau kita ingin mengetahui sesuatu maka perlu meletakkan keraguan. Dari keraguan ini yang menumbuhkan gelisah untuk menyelesaikan persoalan.
Keraguan itu semakin menguat selama proses pembelajaran. Dimana anak dituntut untuk lebih mandiri dalam belajar. Cuman yang terjadi pengerjaan tugas sekolah dibuatkan oleh orang tua. Tentu ini bukan kabar baik terhadap proses pembelajaran. Jika guru PAI mau kritis terhadap problem ini. Pengajaran agama tidak menyentuh mendalam terhadap peserta didik.
Mengapa guru PAI perlu mengamati sampai sedalam itu? Sebelum menjawab dari kata tanya “mengapa”, alangkah baik jika mengetahui karakter manusia berasal dari rasa tahu. Rasa tahu ini mendorong untuk mengamati sebuah obyek dengan perhatian maksimal sehingga muncul masalah (John Dewey: 2005). Manusia melakukan pengamatan ingin menyelesaikan sesuatu. Apakah selesai dari masalah atau semakin berkembang. Ada nilai positif untuk proses berpikir tajam.
Charles Kimball (2005) menambahkan pengamatan keagamaan lain dalam When Religion Becomes Evil dan mengangkat banyak pertanyaan terhadap agamawan dan agama pasca peristiwa 9/11 di New York. Di satu sisi, agama merupakan kekuatan sosial yang paling besar dan positif karena berhasil memberi inspirasi kepada banyak orang dan aneka komunitas untuk mengatasi kepentingan dirinya dan mengejar nilai yang lebih tinggi. Namun, hal sebaliknya adalah juga mungkin yaitu penyimpangan-penyimpangan yang membuat agama-agama menjadi “bencana kemanusiaan” (Hartono Budi: 2006).
Agama bisa memberi kekuatan atau bencana tergantung dari seberapa jauh nilai agama tersebut memberi nilai kepada individu dan sosial. Nilai utama yang patut untuk dikembangkan yaitu perkembangan nilai atau karakter.
Pendidikan karakter melalui Pendidikan Agama Islam
Pendidikan karakter tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sopan santun, toleransi dan nasionalisme merupakan nilai luhur. Patut untuk diinternalisasi melalui PAI. Pendidikan karakter bukan bentuk materi yang dicatat dan dihafal begitu saja. Serta tidak dapat dievaluasi dalam jangka waktu yang pendek. Ada sebuah proses secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Totalitas proses psikologis dan sosial-kultur dapat digolongkan dalam Spiritual and emotional developmen (olah hati), intellectual development (olah pikir), physical and kinestetic development (olahraga dan gerak) dan affective and creativity development (olah rasa dan karsa). Keempat proses psiko-sosial ini secara holistik dan koheren memiliki kaitan pada pembentukan karakter kepada nilai luhur (Ainiyah: 2013).
Pendidikan agama memiliki peran vital sebagaimana undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 36, kurikulum di Indonesia disusun berlandaskan peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia. Al-Ghazali menjelaskan jika akhlak merupakan sikap yang mengakar dalam jiwa dan darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan (Rusn: 1998). Ada titik berat pada penanaman sikap dan kepribadian.
Ketika pilar utama dalam Pendidikan Agama Islam adalah akhlak, maka cara transformasi nilai di masa pandemi ini perlu penyesuain yang khusus. Ukuran keberhasilan secara kognitif, afektif dan psikomotorik tetap berlaku. Sebagaimana penerapan kurikulum 2013 ketika bertatap muka.
Keberhasilan pembelajaran PAI menurut Abdullah Nasih Ulwan akan tercapai jika memakai konsep pendidikan inluentif yang terdiri dari pendidikan dengan keteladanan, pendidikan dengan adat kebiasaan, pendidikan dengan nasihat, pendidikan dengan memberi perhatian dan pendidikan dengan memberi hukuman.
Pada pemberian kepada teladan seorang guru perlu bekerjasama dengan orang tua agar mau menjadi guru ketika di rumah. Menjaga salat, bertutur yang baik dan disiplin waktu meski ada di rumah. Kebiasaan di rumah yang telah baik perlu ada peningkatan. Membangun kedekatan orang tua dengan anak. Jika orang tua mengalami kesulitan, seorang guru siap menjadi mentor.
Guru PAI justru harus dominan memberi pengajaran kepada orang tua peserta didiknya. Supaya ketika memberi teladan, perhatian dan nasihat sesuai dengan arahan dari guru. Ini memang membutuhkan kepercayaan dari kedua pihak. Dimana orang tua percaya betul dengan kapasitas sang guru dan guru percaya akan kemampuan orang tua seperti dirinya dalam transfer nilai.