SURABAYA, PIJARNews.ID – Tiga hari ini terhitung sejak tanggal 1-3 Januari 2021, tempe dan tahu sudah tidak beredar termasuk di Surabaya. Para pengrajin mogok produksi menyikapi kenaikan harga kedelai yang dinilai tidak wajar.
Noto (57) koordinator pengrajin tempe di Wonocolo Surabaya menjelaskan, sejak akhir bulan tahun 2020, kenaikan harga kedelai ter terjadi. Bahkan dalam kurun waktu dua minggu, sudah tiga kali mengalami kenaikan.
“Awalnya harga Rp 7.500 per kilo. Setelah itu naik jadi Rp 7.800. Tak lama kemudian naik lagi dan sekarang sudah diangka Rp 9.500 per kilo”, jelasnya kepada PIJARNews.ID, Minggu (3/1/2021).
Kenaikan ini tentu saja memberatkan pengrajin tempe dan tahu. Pasalnya, belum juga menjual produksi tempe yang dibuatnya, harga kedelai sudah naik harga. “Bayangkan. Hari ini kita belanja kedelai dengan harga Rp 7.500. Setelah produksi dan belum sempat menjual hasil produksi harga kedalai sudah naik lagi. Terus untuk kita dari mana”, keluhnya.
“Sedangkan kalau tiba-tiba kita jual tempe dengan menaikan harga, pasti pembeli akan lari dan pelanggan banyak yang kabur”, tegasnya.
Untuk itu, Noto berharap pemerintah bisa mendengar jeritan pengrajin tempe tahu agar segera menurunkan harga kedelai. “Kita mintanya harga kedelai kembali normal. Minta tolonglah pemerinta bantu pengusaha kecil ini”, pintanya.
Sesuai dengan kesepakan Sahabat Pengrajin Tempe Pekalongan (SPTP) Indonesia, produksi tempe dan tahu dihentikan mulai tanggal 1-3 Januri 2021. Dan tanggal 4 Senin besok, tempe dan tahu sudah mulai beredar di pasaran.
“Besok kita mulai jualan. Tapi yang pasti kita akan naikkan harga mulai dari 20 sampai 30 persen. Karena memang sampai saat ini harga kedelai masih belum stabil”, terangnya.
Sementara Mela (32) ibu rumah taangga merasa keberatan dengan naiknya harga tempe. Meski tempe menjadi makanan vaforitnya, kemungkinan dia akan mengurangi bahkan menyetop menkonsumsi tempe maupun tahu.
“Ya pastinya kita keberatan kalau harga tempe atau tahu naik. Di massa pandemi kita susah nyari uang. Tentunya saya akan menghemat keuangan keluarga. Bisa jadi saya kurangi atau berhenti mengkonsumsi tempe atau tahu untuk sementara”, katanya.
Untuk diketahui, kenaikan harga kedelai hingga 35 persen membuat perajin tahu dan tempe di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (Jabodetabek) menjerit. Lantaran itu, mereka menggelar aksi mogok produksi makanan merakyat tersebut.
Meski begitu, mereka sepakat untuk menghentikan aksi mogok pada Minggu (3/1/2021). Sebelumnya, sejak Kamis (31/12/2020) mereka menghentikan produksi makanan khas Indonesia tersebut, lantaran harga kedelai yang naik.
Ketua Bidang Hukum Sedulur Pengrajin Tahu Indonesia (SPTI) Fajri Safii mengatakan, aksi mogok produksi tersebut terpaksa dilakukan karena harga kedelai naik hingga 35 persen.
Dengan digelarnya aksi mogok produksi tersebut, mereka berharap pemerintah bisa mendengar keluhan sehingga mengeluarkan kebijakan agar harga kedelai bisa kembali normal. Menurut Fajri, saat ini lonjakan harga kedelai mencapai kisaran Rp 9.000 sampai Rp 10.000.
Sedangkan, harga kedelai pada bulan lalu, ungkapnya Fajri, hanya di kisaran Rp 7.000 sampai Rp 7.500. “Kenaikan harga kedelai sebesar itu menyebabkan para pengrajin tahu mogok produksi karena tidak sanggup lagi membeli kedelai,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (2/1/2021).
“Kalau melihat Peraturan Menteri Perdagangan nomor: 24/M-DAG/PER/5/2013 tentang ketentuan impor kedelai dalam rangka stabilitas harga kedelai. Peraturan ini dianggap menghambat tumbuhnya importir-importir baru yang menyebabkan seseorang importir lama bisa semaunya menentukan harga, dan melakukan kesepakatan harga atau kesepakatan pembagian wilayah pemasaran. Hal ini jelas bertentangan dengan UU No.5 Tahun 1999 tentang praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat”, katanya.
Sementara, Ketua Umum Sahabat Pengrajin Tempe Pekalongan (SPTP) Indonesia, Haryanto mengaku tak sedikit para pengrajin yang tergabung dalam organisasinya gulung tikar akibat kenaikan harga kedelai. (din/mad)