Menu

Mode Gelap
Saud El-Hujjaj : Lima Hal untuk Melihat Konflik di Timur Tengah Komunikasi UMM Latih SMA Muhammadiyah 1 Denpasar Membuat Video Pendek Kuliah Tamu Prodi Sosiologi: Persiapan Indonesia Menuju Negara Industri Sinergisitas AUM Tingkatkan Kualitas Pendidikan Muhammadiyah SMA Muga Parengan Hidupkan HW Melalui LKP

Pendidikan · 31 Mei 2020 06:51 WIB ·

Sekaligus New Normal, Model Sekolah SSE atau CE?


					Ilustrasi Silvia Virda Susanti, M.Pd.I. (RDS/PIJARNews.ID) Perbesar

Ilustrasi Silvia Virda Susanti, M.Pd.I. (RDS/PIJARNews.ID)

PIJARNews.ID – Tahun pelajaran 2020/2021 akan dimulai satu bulan lagi, tepatnya Juli 2020. Banyak orang tua sudah mencari informasi sekolah yang diinginkan untuk anak-anaknya, melalui media sosial, datang langsung ke sekolah, atau menanyakan kepada teman. Pendaftaran peserta didik baru (PPDB) Tahun 2020/2021 di beberapa sekolah sudah dibuka sejak Tahun Pelajaran 2019/2020 yang baru berjalan 2 sampai 3 bulan.

Pilgub Jatim 2024

Bulan Januari 2020 kemarin sudah ada beberapa sekolah yang memenuhi kuota peserta didik barunya, akan tetapi masih banyak sekolah yang masih membuka sampai saat ini dengan menawarkan segala macam keunggulan dan diskon biaya. Kondisi itu untuk sekolah-sekolah swasta, sekolah-sekolah Negeri memberikan waktu tersendiri sesuai dengan jadwal dari Dinas Pendidikan Kota masing-masing.

Tahun 2020 memang menjadi tahun sejarah untuk segala aktivitas di Negeri ini, termasuk kegiatan proses belajar dan mengajar (PBM) juga mendapat imbas dengan menyebarnya Virus Corona yang sudah dinyatakan Pandemi oleh WHO, sehingga PBM di Sekolah juga harus ‘dirumahkan’ sejak Maret lalu hingga saat ini.

Kondisi ini juga menjadikan orang tua semakin kebingungan untuk mencari sekolah yang sesuai dengan keinginan, karena mereka tidak bisa melihat langsung kondisi sekolah beserta lingkungan sekitarnya. Pemilihan sekolah juga diliputi banyak pertimbangan karena Pandemi belum dinyatakan tuntas, akan tetapi anak-anak akan pergi sekolah dengan kondisi kurva pasien positif masih meningkat.

Ditambah adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menjadikan orang tua memliki langkah terbatas untuk bisa mengetahui kondisi sekolah yang diinginkan secara langsung, akan tetapi mereka hanya mengetahui informasi sekolah melalui media-media sosial. Terlepas dari kondisi diatas, masa-masa pendaftaran peserta didik baru seperti ini akan menjadikan orang tua banyak pertimbangan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Salah satu pertimbangan orang tua adalah model sekolah SSE atau CE.

SSE adalah akronim dari single sex education. SSE adalah pendidikan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, baik dalam lembaga yang terpisah maupun dalam satu lembaga. Sedangkan CE adalah akronim dari co education. CE adalah pendidikan yang menggabungkan antara siswa laki-laki dan perempuan dalam satu kelas. Kedua model digunakan di berbagai institusi pendidikan mulai Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

Single Sex Education (SSE)

Di Indonesia model SSE lebih banyak digunakan pondok-pondok pesantren, dengan pertimbangan mengurangi kemudharatan antara santri putra dan putri. Kenyataan sekarang model seperti itu tidak hanya ditemukan di pondok pesantren, akan tetapi sekolah-sekolah umum juga sudah banyak yang menerapkan model ini dengan pertimbangan jumlah siswa, kesiapan lembaga dari segi administrasi, keuangan dan tenaga pendidik.

Salah satu tokoh pendidikan Islam juga berpendapat tentang model pemisahan kelas berdasarkan lawan jenis ini, diantaranya adalah Al-Qobisi dalam buku Aliran-aliran Pendidikan Islam yang menyatakan bahwa dia tidak setuju apabila siswa laki-laki dan perempuan dicampur dalam satu kelas atau kuttab, sehingga anak-anak harus tetap belajar secara terpisah sampai usia baligh. Karena jika ada percampuran, ditakutkan akan ada hal-hal yang kurang baik.

Anak-anak pada usia muharriqoh (remaja/ pubertas) tidak akan memiliki ketengangan jiwa dan timbul dorongan yang kuat yang mengkhawatirkan menimbulkan keburukan. Sehingga model ini juga bagian dari anjuran agama yang bisa diajarkan kepada siswa-siswi untuk menjaga hawa nafsu mereka. Sebagaimana dalam QS. An-Nur ayat 30, “Katakan kepada orang laki-laki beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat”.

Seorang guru besar Universitas Harvard, Shirley William menghabiskan masa-masa sekolahnya di kelas yang tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan. Ia mampu meraih Ijazah dengan predikat A. Dia mengatakan bahwa pemisahan antara siswa putra dan putri memberikan dampak yang baik, tanpa ada tekanan psikologis, prestasi yang diraih oleh siswa putri begitu maksimal.

Co-Education (CE)

CE adalah model pembelajaran yang tidak memisahkan antara siswa putra dan putri. Di Indonesia mungkin lebih banyak lembaga pendidikan yang menggunakan model ini, termasuk lembaga-lembaga pendidikan Islam non boarding. Penggunaan model ini diharapkan adanya kebiasaan alami yang terbentuk antara siswa laki-laki dan perempuan, karena pada kenyataannya, keduanya akan hidup berdampingan dalam masyarakat luas dangan kehidupan rumah tangga.

Pemisahan ini juga diharapkan adanya kesetaraan gender dalam penerimaan ilmu dari sumber yang sama, seperti guru yang kompeten di bidangnya. Mereka mampu mengaktualisasikan diri tanpa malu dan tentunya sama-sama mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih prestasi tanpa tekanan psikologis antar lawan jenis.

Kelebihan dan Kekurangan

Dalam pelaksanaan pendidikan dengan dua model ini, menjadikan banyak kelebihan dan kekurangan yang diungkap dari beberapa penelitian, antara lain: 1) Guru. Bagi penganut model SSE tradisional, adanya pembatasan guru laki-laki hanya untuk siswa laki-laki begitu sebaliknya. Ini menjadikan adanya perbedaan ilmu yang diperoleh. Bagi penganut model CE, tidak ada pembatasan guru. Mereka akan mendapatkan guru yang sama. Sehingga mereka mempunyai kesempatan belajar yang sama dari guru yang berkualitas.

2) Motivasi Belajar. Pemisahan kelas atau SSE dapat menjadikan siswa/i berkonsentrasi lebih baik daripada di kelas CE. Kelas percampuran atau CE menjadikan siswa/i tidak berkonsentrasi penuh terlebih di kelas-kelas Menengah Pertama atau Atas, karena usia mereka yang sudah mulai muncul rasa suka dengan lawan jenis.

3) Prestasi. Sebenarnya prestasi bisa diraih oleh laki-laki dan perempuan tanpa membedakan jenis kelamin. Namun kenapa prestasi menjadi pertimbangan kelebihan dan kekurangan dalam pemisahan kelas? Usia-usia sekolah memang masih rentan dengan rasa malu dan takut, terlebih malu dengan lawan jenis. Sehingga pemisahan kelas atau SSE mampu menjadi cara untuk mereka meraih prestasi tanpa malu.

Ini hanya sebagian kekurangan dan kelebihan dari SSE atau CE, tentunya bagi orang tua yang sudah pernah merasakan dunia pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi pasti lebih bisa mempertimbangkan keduanya, terlebih pernah merasakan SSE dan CE.

Jika dilihat dari fungsi pemisahan kelas menurut William A Jeager, maka SSE dan CE termasuk pada fungsi integrasi, yaitu pengelompokan siswa/i berdasarkan kesamaan yang ada pada mereka. Pengelompokan ini didasarkan menurut jenis kelamin, umur dan sebagainya. Pengelompokan ini menghasilkan pembelajaran klasikal.

Pemilihan keduanya untuk buah hati memang sangatlah penting, terlebih pendidikan adalah investasi dunia-akhirat untuk anak, sedangkan moral dan etika pelajar di Indonesia semakin hari semakin tidak karuan. Ini yang menjadikan ‘kegalauan’ luar biasa bagi orang tua yang mau menyekolahkan anaknya, terlebih di musim pandemi Covid-19 dan mau memasuki new normal pendidikan.

Bagaimana semestinya orang tua untuk memilih? Pilihan alangkah baiknya dengan menyamakan tujuan atau visi misi keluarga, yang nantinya anak-anak ini mampu tumbuh sesuai dengan keinginan keluarga. Jadi pemilihan SSE atau CE bisa disesuaikan dengan visi misi pembentukan keluarga, dengan kesiapan segala kelebihan dan kekurangan.

Kita tidak bisa menyalahkan sekolah atau guru sepenuhnya, jika terjadi kekurangan pada anak. Misalnya, anak di kelas SSE yang cenderung tidak berani jika bertemu dengan laki-laki, atau dengan kekurangan yang lain, dan anak di kelas CE yang akhirnya mempunyai hubungan lawan jenis dengan teman sekelasnya. Guru dan pihak sekolah hanya bertemu 5-8 jam di sekolah, selebihnya bersama orang tua. Jadi, Orang tua, guru dan siswa adalah tiga komponen penting yang mampu mendorong mewujudkan kebehasilan pendidikan.

Artikel ini telah dibaca 29 kali

Baca Lainnya

Malam Inagurasi Gen 24 UMM, Guyon Waton Sukses Hibur Mahasiswa Baru UMM

22 September 2024 - 20:20 WIB

Majelis Dikdasmen dan PNF PP Muhammadiyah, susun buku MIPA Bilingual terintegrasi ISMUBA

14 September 2024 - 22:43 WIB

160 Pelajar Di Kabupaten Kudus Mendapatkan Beasiswa Pelajar Penggerak Desa

3 September 2024 - 20:50 WIB

Mahasiswa UMM Ikut Andil Dalam Kurikulum Merdeka di SMKN 4 Malang

29 Agustus 2024 - 21:50 WIB

Upaya Peningkatan Literasi Anak! Kontribusi PMM UMM 12 Adakan Lomba Mewarnai & Mendongeng di Lippo Plaza Batu

27 Agustus 2024 - 22:27 WIB

Prof. Dr. Nazaruddin Malik, M.Si. Resmikan Gedung PAUD TK ‘Aisyiyah Ranting Bango, Kecamatan Solokuro

26 Agustus 2024 - 10:20 WIB

Trending di Ormas