PIJARNews.ID – Satu Mei atau familiar disebut dengan May Day, merupakan hari yang sakral bagi para buruh, sebab pada tanggal inilah buruh di seluruh dunia memperingati perjuangan mereka dalam meraih hak-haknya. Hari buruh sendiri memiliki perjuangan yang panjang, berawal dari perjungan buruh dalam menuntut hak-haknya, seperti pengurangan jam kerja, upah yang layak dan hak-hak lainnya.
Hari buruh sendiri pernah dilarang di era Suharto kala itu, sebab diasosiasikan dengan gerakan komunis. Hal ini juga sangat berkaitan dengan kebijakan terpusat otoriter yang dilakukan oleh rezim Suharto dengan hanya mengakui satu serikat saja, yakni SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonseia).
Perjaungan buruh dari waktu ke waktu memilik jejak yang terjal, sebab banyak kebijakan yang tidak berpihak bagi buruh. Kita mundur ke belakang saja, pada tahun 2015 pemerintahan Jokowi-JK mengeluarkan aturan yang merugikan buruh, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 78. Dalam aturan tersebut upah tidak lagi dihitung berdasarkan dewan pengupahan, namun diatur secara langsung oleh pemerintah.
Formulasi upah didasarkan pada nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi, acuan pemerintah yakni data survey Badan Pusat Statistik (BPS). Pada kondisi ini terjadi kontradiksi UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, karena PP 78 hanya berdasarkan data general yang tidak spesifik, kondisi ini sangat berkaitan dengan objektivitas pengupahan. Di mana komponen kebutuhan hidup layak diabaikan, tentu ini sangat bertentangan dengan aspek upah layak untuk kehidupan yang layak.
Tidak cukup dengan membuat PP 78, pada tahun 2019 lalu, pemerintahan berencana merevisi UU No.13 Tahun 2003 (UUK 13). Mereka mendorong revisi tersebut berbarengan dengan revisi UU lainnya, ada UU Pertanahan, Pertambangan, RKHUP dan lain-lain. Rencana revisi tersebut menuai gelombang protes masif, semua orang memenuhi setiap sudut kantor pemerintahan baik di ibu kota maupun di daerah. Aksi yang dikenal dengan “reformasi dikorupsi,” tersebut merupakan butut kekecewaan rakyat, terlebih buruh yang merasa akan dipangkas hak-haknya.
Buruh yang sudah ditindas dengan adanya PP 78 yang diklaim akan meningkatkan investasi, nyatanya menimbulkan banyak problem, sebab pada akhirnya dengan kenaikan kebutuhan hidup, banyak buruh yang tidak cukup upahnya harus bekerja ekstra, bahkan beberapa ada yang terjerat rentenir.
Belum lagi persoalan pemberangusan hak buruh, seperti pemecatan sepihak hingga union busting atau pemberangusan serikat pekerja. Revisi UUK 13 semakin menegaskan corak keberpihakan pemerintah kepada pengusaha, sebab beberapa poin dalam revisi UUK 13 banyak di antaranya berkutat pada pemotongan hak-hak buruh, sampai pada level di mana partisipasi mereka direduksi. Mulai dari PKWT yang durasinya diperpanjang, outsourcing yang bisa di segala bidang dengan kuasa penuh pengusaha dalam menentukan praktik ini, pesangon yang berperspektif pengusaha, waktu kerja yang disa lebih panjang, sebab kaburnya pengaturan aturan tersebut dan aneka revisi yang jauh dari kata, mendorong kehidupan layak bagi buruh.
Tentu dalih pemerintah adalah investasi, lalu lapangan pekerjaan, maka fleksibilitas tenaga kerja perlu dijadikan jurus sakti dalam meningkatkan lapangan pekerjaan. Pasca ditundanya revisi UUK 13, pemerintah kembali menggulirkan aturan yang tak jauh beda materinya dengan revisi UUK 13, yakni RUU Cipta Kerja yang menaungi banyak peraturan dan perundang-undangan atau sering disebut dengan Omnibus Law.
Pemerintah termasuk ngotot, bahkan dimasa-masa pandemi seperti ini mereka tetap membahasnya, di saat banyak orang dilarang berkumpul karena himbauan pembatasan sosial, mereka malah berkumpul untuk membahas RUU pro-investasi tersebut. Kondisi ini menunjukan, bagaimana perjuangan buruh dan segenap masyarakat sipil lainnya benar-benar semakin terjal.