Dalam pergerakan yang besar dan kuat tentulah tidak terlepas dari apa yang disebut “perkaderan”. Apakah sebuah perkaderan selalu berhasil? Tentu tidak. Akan tetapi paling tidak, ada usaha-usaha untuk melahirkan kader sehingga pergerakan itu tetap hidup. Bukan malah sebaliknya tidak ada usaha,lantas kemudian pergerakan itu tidak bertumbuh lalu kemudian mati.
Sejalan dengan apa yang dikutip sebagian dari Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr. Sholihin Fanani bahwa “Pimpinan harus benar-benar tahu Islam dan prinsip-prinsip yang dipahami Muhammadiyah. Sehingga dia bisa mengarahkan pimpinan amal usaha,” katanya.
Kedua, pemahaman terhadap fungsi dan kedudukan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Yakni, sebagai lahan untuk berdakwah, kaderisasi, beramal atau berjuang. Menurutnya, AUM sebagai alat mempercepat tercapainya tujuan Muhammadiyah, termasuk orang-orang di dalamnya.
Di dalam AUM, imbuh Sholihin, sepatutnya dipilih orang atau karyawan yang memenuhi ketentuan Persyarikatan, sehingga bisa sejalan dengan cita-cita Muhammadiyah.
Ketiga, kurangnya memahami sejarah tentang latar belakang berdirinya Muhammadiyah.
Dan ini sepertinya tidak sejalan dengan keadaan saat ini. Seperti curhat dari salah seorang kader muda dalam memulai chat-nya kepada kami.
“Maaf kak,dan pada akhirnya aku harus mengabdi dan berjuang dan di luar rumah kita”. Sebuah penggalan chat seorang kader otentik yang berusaha menutupi kekecewaannya dengan menerima tawaran bergabung di sebuah PTS ternama di sebuah kota besar. Dan perlu diketahui rumah kita yang dalam chat itu adalah rumah besar kita yaitu Muhammadiyah.
Dan dari situ pula saya tahu bahwa dia sudah 3 kali gagal bergabung dalam universitas milik Muhammadiyah dan dari situ pula saya tahu bahwa kader pun tidak menjamin mudah atau bisa bergabung dengan universitas yang saya yakin dia bangga dan merasa memiliki karena berbendera Muhammadiyah.
Hal ini tentu menyakitkan bagi seorang kader di atas, dan lebih menyakitkan lagi bahwa ada puluhan atau bahkan ratusan cerita yang hampir sama dengan cerita diatas. Lalu pertanyaan apa yang kira-kira muncul di benak kader-kader itu, yang sejak belia dikader melalui IPM, IMM, NA, Pemuda Muhammadiyah atas nama dan dalih yang disebut perkaderan dan kaderisasi.
Pertanyaannya bisa saja kenapa yang berlabel kader tidak bisa bergabung? sedangkan yang profesional bisa bergabung? atau butuhnya apa sih Universitas-Universitas atau Rumah sakit-rumah sakit, yang sering kita sebut AUM (dan dalam konteks ini bukan hanya universitas dan RS tetapi seluruh amal usaha Muhammadiyah) itu? kader atau profesional?
Sering kali kita gamang dalam menjawab ini dalam banyak diskusi, dan jika jawabannya adalah kader tetapi harus profesional!. Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah profesional yang bergabung dengan Universitas-Universitas dan AUM-AUM itu di pertanyakan perkaderannya apa? dan dimana?
Karena kita melihat tidak sedikit profesional yang bukan kader ikut bernaung di AUM-AUM itu, yang bahkan perkaderannya jauh dari kata Muhammadiyah. Apakah tidak boleh profesional bergabung dengan AUM?tentu saja boleh dan sah-sah saja. Tetapi rasanya menjadi perlu untuk memisahkan keduanya dalam proses rekrutmen nya, yang hasil dari proses itu adalah soal jenjang karir dari keduanya.
Dan ujung dari karir keduanya adalah siapa yang layak memimpin dari AUM-AUM itu yaitu tidak lain dan tidak bukan adalah kader. Mengapa demikian? Karena kader dan kaderisasi adalah sebuah lisensi dari pemahaman dari sebuah ruh pergerakan. Dan bisa kita bayangkan ketika AUM dipimpin oleh seseorang yang tidak memahami ruh pergerakan?
Maka analogi nya adalah kendaraan besar kita berupa semacam bus itu di sopir oleh seseorang yang tidak punya lisensi/SIM!. Relakah kita? Jika jawabannya rela, maka kita sama hal nya dengan P.O (Perusahaan Otobus) yang menyediakan bus-bus, yang sopir-sopirnya tidak mempunyai SIM, dan kita tinggal menunggu sambil menghitung berapa jumlah bus yang terlibat insiden?berapa jumlah bus yang masuk bengkel?dan kerusakan-kerusakan yang lain..
*Penulis : Suprayetno, Ketua PCPM Solokuro