Hai, apa kabarmu? Kapan pulang?
“Bagaimanapun peranmu nanti, kalau kamu pulang sekarang, berarti kamu kalah. Kalah.” Kau tahu bagaimana penekanan kata terakhir seniorku itu diucapkan? Bahkan sorot matanya semakin menajam diingatanku tiap kali ku ingin menyerah. Dan karenanya, aku bisa cukup lama bertahan.
“Masih disini, emang apa progressmu?,” di sisi lain semprotan sejawatku tak kalah sengit. Dia asli orang tanah rantauku. Kami bertemu di salah satu organisasi kampus, dan justru satire-satire semacam itulah yang membesarkan kami. Dari pada sebuah empati terhadap kawan yang menanggung rindu pada sanak famili, pertanyaan itu lebih kuanggap sebagai sebuah tantangan waktu itu.
Lama sudah aku tidak lagi berurusan dengan perkuliahan, tapi menjadi satu-satunya anak kos di lingkungan kami yang masih tinggal. Laju pembangunan yang terbilang rendah, juga bayangan sepi lalu lalang di kota kecil tempat lahirku, selalu membuat bergidik. Ngeri mendapati kembali tatapan tabu orang-orang, ketika waktu itu kami tidak sengaja sedikit kemalaman berkumpul di warkop, mendiskusikan hal-hal yang juga biasa teman-teman aktivis perempuan lakukan di kota seberang.
Eksistensi diri
Aku tidak mau kehilangan keramaian untuk tidak bilang kesibukan. Ada, bahkan sedikit kepongahan untuk tidak rela jika, self branding yang telah terbangun bertahun-tahun di kota orang menguap tiba-tiba. Dan sesungguhnya aku takut kalau ku tak lagi berguna. Mengakulah, kalau kau sempat berpikir serupa. Isi kepalaku hanyalah serentetan kemungkinan-kemungkinan buruk. Hingga, aku bertemu Mark Manson di sebuah buku. Kau kenal dia? Aku diejeknya soal ketidakjelasan eksistensi diri. Bahwa, manusia hidup sebab harapan. Dengan harapan, seseorang membuat dirinya bermakna. Dan aku telah salah, membentuk makna hidupku dari keinginan orang lain.
Aku hanya hidup untuk memenuhi permintaan-permintaan mereka. Aku melakukan banyak laku altruis hanya untuk membuat orang lain tidak kecewa. Ketidak-bergunaan semacam itulah yang ternyata kutakutkan. Jika di tempat baru orang-orang tak mengenalku, tak ada yang membutuhkanku, lalu aku mau apa? Pikirku begitu saat itu.
Celakanya dalam fase menyadari satu, aku tersandung lagi batu ekpektasi lain yang mirip. Aku malah menjadi takut belum siap jika sungguhan dibutuhkan. Apa kau memahami maksudku? Atau kau punya teman lain yang kira-kira seperti aku? Baik, mari kita uraikan pelan-pelan..
Bagi sebagian orang, mungkin pulang menjadi sebuah kelegaan. Memecah celengan rindu seperti lagunya Fiersa Besari. Juga membebaskan semua cerita yang telah lama tertumpuk di kejauhan. Tapi bagi sebagian yang lain, pulang tak pernah sesederhana itu.
Pulang memang menjanjikan temu-temu. Namun setiap temu membawa konsekuensinya sendiri-sendiri. Apa yang telah dibawa sehingga sudah kembali? Pulang apalagi dari “belajar”, sejatinya adalah saat tuk mengamalkan ilmu yang telah sekian lama dikumpulkan. Kau termasuk tipe yang mana?.
Jika sering menyimak informasi beasiswa ke luar negeri, sudah nyaris pasti ada tugas esai terkait kontribusi pelamar untuk ibu pertiwi di salah satu tahap seleksinya. Bahkan tak tanggung-tanggung, terdapat ketentuan dari negara tujuan yang jelas tertulis, “Penerima beasiswa harus segera kembali ke negara asal setelah menyelesaikan studi”. Jika demikian dalam konteks antar negara, mari asumsikan dengan kewajiban pulang ke kota kelahiran untuk lingkup yang lebih sempit.
Arti Pulang Sebenanrnya
Coba, sampai sini aku akan tebak apa yang kau siapkan tuk menyangsikanku. Adakah barangkali, kau akan ingatkan aku tentang salah satu pesan KH. Ahmad Dahlan soal itu?
“Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu hendaklah warga muda-mudi Muhammadiyah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan (dan teknologi) di mana dan ke mana saja. Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan (profesional) lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.”
Bukan untuk pulang, aku juga menebak bahwa kau justru akan menggunakannya sebagai alasan atas dua hal. Dan boleh jadi, kita punya satu-dua hal kesamaan. Anu. Padaku yang naif beliau juga seperti bilang, kalau belum jadi dokter, master, atau insinyur ya jangan pulang!.
Persoalan Tentang Kesiapan
Maka jika kau tak pernah merasa siap, itu pula maksudku. Aku belum cukup merasa mampu mendayagunakan diriku untuk umat masyarakat. Padahal jika ketika pulang ku tak melakukan apa-apa, tak ada bedanya aku bekerja di perantauan atau di rumah. Dengan orang-orang, sama-sama hidup tapi tidak hidup bersama-sama.
Lalu kau akan mengemukakan alasan kedua, bahwa di era medsos, perjuangan tak harus dilakukan dalam jarak dekat. Tapi seberapa yakin dirimu, bahwa kau akan bisa secara penuh “ada” dalam lahan tempur yang kau pilih? Semua memang tentang pilihan, karena kita yang berhak atas diri kita sendiri. Namun jika “belum siap” menjadi kerikil utamamu, kuberi kabar bahwa aku telah melewatinya.
Kau, jika memang sekarang masih ingin melanjutkan pendidikan formal jauh disana, selesaikanlah. Kau, jika masih punya cita-cita ingin menjajal ilmu yang kau dapat dengan bekerja di kota besar, capailah. Tapi yang perlu disadari adalah, belajar adalah sebuah proses terus-menerus. Maka jika menunggu kata “siap” setelah belajarmu usai, barangkali kita tidak akan pernah berjumpa, sebab belajar memang tak punya garis finish.
Berani Membawa Perubahan
Oh iya, ingatkah kau, dalam opini berjudul “Melihat Esok di Hari Ini; Sebuah Keprihatinan Sekaligus Harapan untuk Angkatan Muda Muhammadiyah”, Alfi Nurhidayat, Wakil Ketua Pimpinan Pemuda Muhammadiyah Jatim 2007-2011 juga mengingatkan pada kita tentang posisi dan peran strategis pemuda? (Baca: pijarnews.id).
Jika boleh sedikit kuingatkan kembali, kata beliau, pemuda berada pada posisi strategis yang terletak pada aspek demografis, dimana pemuda sebagai pengisi ruang sejarah, dibutuhkan dalam proses regenerasi kepemimpinan bangsa. Dan peran didalamnya dipertimbangkan atas aspek ideologis, dimana pemuda memiliki idealisme dan moralisme sarat nilai, sebagai dasar orientasi perubahan dan pencerahan peradaban. Dan ini, bukan sekedar ekspektasi. Melainkan keniscayaan. Lalu kita, ada di mana?
Pulang memang butuh keberanian. Keberanian untuk mengakhiri yang telah jadi rutinitas, dan memulai lagi (mungkin) rutinitas yang baru. Keberanian tuk dihakimi atas bekal yang dicari. Keberanian tuk berburu rekan se-visi. Keberanian mencipta ladang juang baru jika kesadaran-kesadaran juang di tempat asal masih nihil. Dan kalau bisa, keberanian untuk memerdekakan diri dari ekspektasi yang tak seharusnya kau pikir berlebihan – yang seringkali justru menghambat gerak.
Maaf cerita banyak, tapi aku hanya ingin bilang untuk jangan lagi khawatir. Apalagi, menyoal peralihan peran. Sue Fitzmaurice berkata, “Ketika kita menjalani hidup yang terhubung ke tujuan, kita tidak mengejar kesempatan. Kesempatan yang datang kepada kita”. Maka tenang saja. Jika menjalani hidup yang terhubung ke tujuan kebaikan, kuyakin kita juga kan temui kemudahan.
Sekali lagi, pulang adalah keniscayaan. Pulang tidak bisa diartikan kalah-menang. Ini tentang panggilan hati. Hati sebagai satu-satunya yang tau waktu tepat tuk kembali. Yang jelas, aku menunggumu. Aku mengajakmu karena ku tak bisa sendiri.
Aku, baru saja memulai babak baru dengan keberanian kecil. “Pak, ini saya pulang. Apakah Bapak masih punya saran titik awal, untuk saya memulai perjuangan baru di “rumah”?.
“Sip.. Kita ngobrol-ngobrol di Madrasah ya,” balas kepala sekolah almamaterku via Telegram.
Dan kau, jangan lupa menjawab suratku.
Trenggalek, 18 Januari 2021
Editor: Amanat
BACA: Pembaca PIJARNews.ID Menulis