PIJARNews.ID – Webinar atau Web Seminar ketiga yang diadakan komunitas Kajian Kebon Jambu (KKJ) Jombang – Indonesia, telah berjalan lancar dengan peserta yang cukup antusias. Dimana peserta kali ini bukan hanya dari lingkup Provinsi Jawa Timur, namun juga diikuti hingga wilayah luar Jawa, Sabtu (2/5/2020) pukul 20.00 WIB.
Sebelum adanya pendemi Covid-19, kajian rutin memang sudah menjadi aktivitas keluarga KKJ dengan perkumpulan langsung di Kabupaten Jombang. Namun akibat pandemi ini, sementara kajian berlangsung secara online dengan aplikasi zoom.
Pada kesempatan ketiga ini, tema yang diangkat adalah “Beroganisasi Muhammadiyah (MD), YES! Berideologi Muhammadiyah, NO!”. Dengan pemateri Ustaz Pradana Boy, ZTF. Seorang aktivis, kader otentik Muhammadiyah kelahiran Lamongan, akademisi muda berbakat dan sekaligus dosen di Universitas Muhammadiyah Malang. Webinar ketiga ini dipandu oleh Ustaz Ali Ahmadi dengan Ustaz Rohim, M.Pd.I sebagai host acara.
Ustaz Khoirul Abduh, M.Si selaku Dewan Pembina KKJ memberikan pengantar sekaligus sambutan kepada peserta. Terdapat tiga poin yang menjadi catatan kenapa kajian ini mengangkat tema tersebut. Pertama, tentang eksklusifme dalam konteks kepemimpinan organisasi Muhamnadiyah agar semaikin diperkuat. Kedua, begitu juga dalam lingkup kepemimpinan amal usaha Muhammadiyah (AUM). Ketiga, adalah basis data pengkaderan yang jelas dan terbuka.
“Tiga poin tersebut saya rasa perlu sekali, agar ada kepedulian terhadap kader otentik, tidak ada lagi istilah penjegalan kader terbaik untuk terus berkembang di dalam persyarikatan. Karena Muhammadiyah merupakan organisasi kader”, tegasnya.
Bagi Abduh, tema ini mungkin terkesan kadaluarsa untuk dibahas, namun justru masih menjadi realitas yang kerap ditemui. Sehingga pembahasan tema ini, kata dia, jangan berhenti pada kajian, namun harus menjadi efek gerakan yang bersifat jaringan, bersama-sama membawa kepemimpinan dalam Muhammadiyah sesuai dengan cita-cita KHA. Dahlan.
Pradana Boy, selanjutnya mengawali materi yang disampaikan dengan mengutip teori Dr. Khozin, kebetulan sebagai sahabatnya sekaligus dosen di UMM, teori itu bernama menjadi Muhammadiyah. Ia menjelaskan, sahabatnya telah mengadopsi teori pendidikan untuk melihat individu bisa menjadi Muhammadiyah melalui 3 tahap, yaitu input, proses dan hasil.
Pada tahap input, telah menjadi kewajaran jika keragaman individu itu nyata adaya. Sedangkan pada tahap proses, Dr. Khozin membagi menjadi empat ciri, diantaranya individu bisa menjadi Muhammadiyah lewat Ortom, AUM, pendidikan dan aktivitas lain.
Dari keempat tersebut, bagi Boy, tahap kedua memang bisa menjadi perhatian. Dengan jenaka dia menjelaskan, jika sesorang bisa sekaligus menjadi ‘NU’ saat bermuhammadiyah melalui AUM. “Jadi ada bahan candaan, jika bermuhammadiyah lewat AUM bisa sekaligus menjadi ‘NU’, konteksnya bukan pada organisasi sahabat, tapi singkatan dari nunut urip atau demi kelangsungan hidup”, ujarnya memecah suasana.
Sedangkan pada tahap hasil, keempat ciri tersebut akhirnya membentuk kader meliputi empat tipikal, yaitu Muhammadiyah KHA Dahlan, Muhammadiyah Al-Ikhlas, Muhammadiyah-NU (Mu-NU), dan Muhammadiyah Nasionalis, ada juga yang menyebut dengan Marhaen-Muhammadiyah (MarMud).
“Dalam satu kesempatan tertentu, keempat tipikal tersebut dilengkapi oleh Prof. Amin Abdullah dengan keberadaan kader Mursal, atau Muhammadiyah rasa salafi di lingkungan kita”, tambahnya.
Di luar itu, Boy juga mempunyai pandangan lain dalam membaca fenomena Islam atau keagamaan di Indonesia. Pertama, dimulai dari tahun 1960an atau Islam pasca sekulerisme, yang diramalkan akan memudar, namun justru semakin menguat. “Ini menjadi fenomena global baik di belahan dunia eropa, saya yang pernah tergabung dalam konsorsium penelitian Islam, politik dan globalisasi menemui hal tersebut yang justru dibincangkan para peneliti”, ungkapnya.
Kedua, tentang keberadaan Islam Hibrid di Indonesia, yang berarti mencampurkan berbagai tren budaya dalam beragama, kelompok ini di satu sisi ketat dalam ritual ibadah, namun mereka juga tidak sadar telah menggunakan cara berfikir atau metode barat. Ketiga, adanya Islam Internet, sehingga tidak ada lagi kejelasan hubungan antara guru dan murid. Keempat, adalah Islam Salafisme yang menguat di masyarakat belakangan, lalu mencoba berafiliasi di dalam beberapa kelompok keagamaan di Indonesia.
“Kelompok salafi inilah jika masuk ke dalam Muhammadiyah bisa membawa masalah, mereka tahu jika Muhammadiyah adalah organisasi besar dan bisa memenuhi kebutuhan pragmatisnya. Namun sayangnya mereka gagal memahami Muhammadiyah sebagai gerakan ideologis. Sehingga Muhammadiyah hanya dijadikan kekuatan penggerak tujuan mereka”, tegasnya.
Menjelang akhir paparan, untuk menanggulangi hal itu, Boy mencontohkan jika pernah secara tegas mengusulkan rekrutmen kepengurusan di lingkungan UMM. Agar jangan terkesan malu-malu membuat aturan khusus jika masuk UMM, karena jelas sebagai lembaga ideologis.
“Memang ada ayat Al-Qur’an Laa Ikraha Fiddiin, bahkan tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Tapi konsekuensinya jika sudah beragama, tentu akan terikat. Begitu juga seharusnya dalam berorganisasi, terdapat suatu ikatan ideologis”, jelasanya.
Seusai ustaz Boy memaparkan meteri, kajian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan tiga kali babak kesempatan. Peserta cukup terlihat menikmati paparan yang disampaikan, terbukti dengan tidak ada kesempatan kosong dari peserta. Selengkapnya kajian juga bisa dikases melalui link youtube pijarnews.id. (mra)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.