JAKARTA, PIJARNEWS.ID – Pembahasan rancangan undang-undang energi baru terbarukan (EBT) masih berjalan di DPR. Progresnya minim. Sejak didiskusikan pada September lalu, sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan segera disahkan.
Padahal, penyusunan rancangan aturan itu sudah berlangsung sejak 2018. Naskah akademiknya pun telah tersusun pada tahun yang sama. Untuk tahun ini, RUU EBT telah masuk dalam daftar prioritas program legislasi nasional atau Prolegnas 2021.
Anggota Komisi VII DPR Maman Abdurrahman mengatakan bahwa masih banyak poin-poin yang perlu perbaikan. Pihaknya terbuka untuk mendengar semua masukan dari berbagai kalangan. “Tentu itu semua akan kami diskusikan di dalam Panitia Kerja RUU EBTKE,” ujarnya, Selasa (26/1/2021).
Sampai saat ini DPR masih menggodok agar pembahasan draf tersebut agar dapat segera rampung tahun ini. Untuk diskusinya telah masuk pembahasan naskah akademik dan meminta masukan dari berbagai pihak. “InsyaAllah tahun ini kami selesaikan,” imbuhnya.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan akan melakukan rapat dengar pendapat bersama tim keahlian dewan. Rapat tersebut antara lain membahas mengenai penyampaian draf yang disusun pada September 2020. Usai rapat, maka akan muncul draf yang terbaru.
“Setelah itu, kami putar ke seluruh kelompok kepentingan luas untuk merespon, menanggapi, mempertajam, dan memperdalam,” ujarnya dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2021.
Peningkatan bauran energi dari fosil ke EBT bukan lagi perkara penting dan tidak penting. Tantangan global saat ini adalah menghadapi dan mencegah perubahan iklim. Dalam hal ini, Indonesia berkontribusi untuk mewujudkannya sesuai Perjanjian Paris 2015.
Dalam perjanjian tersebut hampir 200 negara sepakat membatasi pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celcius. Artinya, emisi gas rumah kaca (GRK) atau karbon dioksida harus turun 45% pada 2030 dibandingkan 2010. Lalu, beberapa negara, termasuk Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, sudah menargetkan bebas karbon pada 2050.
Indonesia, yang juga menandatangani Perjanjian Paris, telah meratifikasinya dalam UU No. 16/2016. Target nasional pengurangan emisi karbon negara ini atau nationally determined contribution (NDC) adalah 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional di 2030.
Periset Data dan Informasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan laporan Climate Action Tracker menunjukkan bahwa sistem ketenagalistrikan energi terbarukan perlu ditingkatkan. Saat ini angkanya baru sekitar 14% dan perlu ditingkatkan menjadi 50% hingga 85% di 2030 agar sesuai dengan komitmen Paris.
Di sisi lain, listrik yang bersumber dari batu bara harus turun dari sekitar 60% menjadi 5% sampai 10% di 2030. Karena itu, lanjutnya, perlu kebijakan yang ambisius dalam mengurangi ketergantungan dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru bara.
“Kita perlu melakukan moratorium pembangunan PLTU baru,” katanya.
Namun, untuk batu bara produksinya tetap melebihi target. Permintaan ekspor dan domestiknya masih besar. Pemerintah juga mendorong agar konsumsi batu bara naik.
PLTU masih tetap akan dibangun. Berdasarkan rencana umum penyediaan tenaga listrik atau RUPTL 2019-2028, PLTU yang akan dibangun hingga akhir periode itu mencapai 57 gigawatt (GW).
Periset Teknologi dan Material Fotovoltaik IESR Daniel Kurniawan menyebut kapasitas pembangkit energi terbarukan pada tahun lalu hanya bertambah 187,5 megawatt. Jumlah ini terendah dalam lima tahun terakhir.
Untuk bauran energi pembangkit mengalami peningkatan hampir menyentuh 15% di paruh pertama 2020. Namun, batu bara masih mendominasi sektor ini. (fzi/mad)