MOJOKERTO, PIJARNEWS.ID – Selama 400 tahun lamanya, sebuah manuskrip kitab-kitab lama masih tersimpan rapi di sebuah lemari kaca berukuran 1,5 meter X 70 di ndalem Kiai Muhammad Rofii Ismail, dzuriyah Pondok Pesantren As-Sholihiyah atau Pondok Penarip, Kecamatan Kranggan, Kota Mojokerto yang sekaligus cucu dari Kiai Muhammad Ilyas pendiri Pondok Penarip, Kota Mojokerto.
Secara fisik, manuskrip atau tulisan tangan dengan huruf Arab itu tampak sudah usang. Bahkan beberapa di antaranya sudah tak utuh karena termakan usia maupun rayap. Meski demikian, huruf demi huruf masih terbaca begitu jelas.
Warnanya sudah terlihat kuning kecoklatan. Sepintas, goresan tinta kitab tersebut tertulis di atas kertas. Akan tetapi, ada salah satu kitab yang ternyata di tulis di atas bahan kulit.
”Kalau dilihat memang sama dengan kertas, tapi ketika disentuh akan terasa, kalau terbuat dari kulit,” terang Kiai Muhammad Rofii Ismail sambil menunjukkan bahan dari kitab itu di kediamannya, Minggu (7/3/2021).
Begitu disentuh, media tulisan itu terasa sedikit keras dibandingkan kertas. Pun demikian dengan goresan tinta yang tampak lebih tajam. Menurut Kyai Rofii, kitab tersebut merupakan kumpulan dari ilmu nahwu dan shorof.
”Di halaman akhir juga ada manuskrip tahlil yang semuanya dibundel menjadi satu,” terangnya.
Sedikitnya, ada enam kitab yang ada di lemari kaca tersebut. Namun, hanya satu yang terbuat dari bahan kulit. Sementara selebihnya terbuat dari kertas.
“Namun kitab-kitab yang terbuat dari kertas, ternyata dari hasil penelitian beberapa ahli yang datang kesini merupakan kertas dengan kualitas terbaik, dari luar negeri, Kalau di trawangan akan terlihat logo seperti hewan,” ungkapanya.
Menurut Gus Rofii, semuanya merupakan kitab peninggalan Kyai Ilyas. Selain sebagai bahan mengajar para santri, kitab tersebut juga diperkirakan dimiliki Mbah Ilyas saat menimba ilmu di pesantren.
”Sebenarnya banyak kitab-kitab peninggalan beliau, namun karena khawatir tidak bisa merawat, jadi sebagian kitab peninggalan diberikan kepada para saudaranya dan kerabat. Jadi saat ini hanya kitab-kitab ini peninggalannya Mbah Yai (Kyai Ilyas, red),” jelas Ketua MUI Kota Mojokerto ini.
Kitab-kitab tersebut bertuliskan tentang ajaran ilmu tasawuf, tafsir Jalalen, nahwu shorof, fiqih, dan Al-Qur’an. Kyai Rofii menuturkan, satu-satunya kitab yang merupakan hasil tulisan tangan dari Kiai Ilyas adalah Al-Qur’an.
”Yang saya kenali dari tulisan tangan Mbah Yai itu hanya mushaf Al-Qur’an, kalau kitab yang lain wallahualam. Karena bisa jadi dulu kitab ini turun temurun,” ujarnya.
Dari sejumlah kitab kuno ini, Kyai Rofii menyebutkan memiliki masa sendiri sendiri, seperti Al-Qur’an ini sudah berusia kurang lebih 200 tahun, sedangkan kitab lainya diperkirakan berusia 400 tahun.
Dulu, semasa hidup, kyai yang juga dikenal dengan panggilan Kiai Sholeh ini memiliki pekerjaan sebagai penulis kitab suci Umat Muslim.
”Setiap satu Al-Qur’an tulisan tangan diberi upah satu ekor sapi. Dan membuat satu mushaf membutuhkan waktu kurang lebih dua tahun,” urainya.
Peninggalan lainnya yang tak kalah menarik perhatian ialah secarik kertas tulisan tangan dari salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Hasyim Asy’ari. Dalam keterangan, surat yang ditulis menggunakan huruf pegon (huruf Arab dengan bahasa Jawa) itu dibuat di Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang ditujukan kepada Mbah Sholeh.
Pada pojok kiri atas, surat tersebut tertulis tanggal 13 Rabius Tsani 1359 Hijriah atau berkisar antara bulan Juli-Agustus tahun 1940 silam. Gus Rofii mengaku tidak mengetahui pasti inti dari surat yang dikirim oleh Mbah Hasyim itu.
Menurutnya, tidak ada hal khusus dijelaskan pada selembar surat tersebut. Hanya saja didalamnya menyebutkan bahwa Mbah Hasyim sudah menerima utusan Kiai Sholeh yang bernama Ghozali yang telah diterima dan jawabannya diberikan secara lisan melalui utusan tersebut.
”Jadi isi surat belum jelas yang ditanyakan itu apa,” terangnya.
Apapun itu, hal yang dibahas dari kedua tokoh ulama besar itu bisa jadi merupakan persoalan yang rahasia. Sehingga pesan yang disampaikan tidak bisa dituliskan langsung dalam surat. Jawaban hanya diberikan dengan perantaraan seorang utusan yang bisa dipercaya.
Yang cukup menarik dalam surat itu, Kiai Hasyim menyebut nama Kiai Ilyas dengan sebutan penghormatan hadratussyeich. Bisa jadi, penyematan gelar tersebut merupakan sebuah penghormatan dari sang kyai kepada Mbah Ilyas. Wallahualam.
“Karena tidak semua bisa diberikan sebutan hadratussyeich, karena ada persyaratan-persyaratannya. Salah satunya hafal Al-Qur’an dan kitab-kitab lainnya,” pungkasnya. (ram/mad)