Kita mungkin sering mendengar istilah Jipolmu yang merupakan akronim dari Jihad Politik Muhammadiyah, sebuah ijtihad Persyarikatan yang pastinya untuk tujuan dakwah. Namun, apakah perlu bagi sebuah organisasi sekelas Muhammadiyah terjun ke dalam politik praktis? Apa Muhammadiyah ingin menempati sebuah posisi politik? Atau hanya di manfaatkan untuk kepentingan politik untuk tujuan tertentu? Ataukah Muhammadiyah tidak mampu beramar ma’ruf tanpa posisi politik? Pertanyaan yang sering kita pertanyakan.
Menilik pernyataan Prof. Haedar Nashir di Tempo (30/7/2019), mengingatkan kita agar tidak menyeret Muhammadiyah ke dalam pusaran politik praktis. Namun, Prof. Haedar mempersilahkan para kader untuk berkiprah di perpolitikan, asal tidak membawa nama organisasi didalamnya.
Tentunya hal ini sesuai dengan kittah Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan, bukan tujuan politik praktis. Meski tidak dipungkiri, banyak sekali kader-kader Persyarikatan berkarir di partai-partai politik yang ada dan tentunya juga mempunyai visi misi dakwah.
Namun, tak jarang kita melihat dan menyaksikan Persyarikatan di kait-kaitkan dengan politik praktis, calon tertentu, partai tertentu, pastinya dengan tujuan tertentu pula. Hal ini yang seharusnya tidak perlu, karena jihad politik Muhammadiyah adalah soal kebangsaan, bukan posisi atau kekuasaan yang biasa dilakukan oleh politisi atau partai politik (parpol).
Jipolmu, Perlukah?
Pertanyaannya, perlukah Muhammadiyah melakukan jihad politik? Jawabannya tergantung arah mana jihad itu ditujukan. Mengingat Muhammadiyah pernah melakukan jihad konstitusi pada tahun 2015, ataupun jihad dengan meluruskan arah kiblat bangsa. Jihad inilah yang sesuai dengan semangat amar ma’ruf nahi munkar yang sering digaungkan Muhammadiyah.
Tetapi, jika arahnya ke dalam ranah politik praktis dengan mengusung atau mendukung calon kontestan politik atau memihak partai politik (parpol) tertentu, maka hal ini yang kurang tepat. Sebagaimana yang di sampaikan oleh Prof. Haedar diatas, sehingga nantinya Muhammadiyah akan masuk ke politik praktis.
Memang tidak bisa kita pungkiri, banyak sekali kader Persyarikatan yang berkarir di politik praktis. Namun secara politik, mereka sudah memilih kendaraan politik dengan masuk ke dalam partai-partai yang ada. Sehingga Muhammadiyah secara organisasi tidak seharusnya di manfaatkan untuk dukung mendukung secara politik, namun Muhammadiyah cukup memberikan dukungan secara moral kepada semua kader yang ada di parpol serta tidak memihak kepada calon atau partai tertentu, agar nantinya posisi Muhammadiyah tetap strategis dan konsern dalam dakwahnya.
Saat Pilkada kemarin, masih masif Jipolmu dibeberapa daerah, bahkan ada yang mengklaim menang di beberapa kabupaten/kota berkat jipolmu, rasanya hal yang kurang pas karena tidak seharusnya Muhammadiyah secara organisasi memihak kepada calon atau partai tertentu.
Bahkan tak jarang kita menemukan kegiatan Persyarikatan namun menghadirkan politisi sebagai pembicara, sambil menyematkan embel-embel partai politik. Meski politisi itu merupakan kader, namun alangkah baiknya jika tidak membawa politik praktis tersebut ke dalam organisasi.
Rasanya memang harus dipisahkan, agar Muhammadiyah tidak bercampur secara terbuka parpol tertentu. Karena pastinya banyak kader-kader yang berkarir di parpol lain juga tidak seakan diabaikan, dan memang seharusnya Muhammadiyah tidak di kaitkan atau di seret ke dalam politik praktis.
Jihad Muhammadiyah Tanpa Politik Praktis
Muhammadiyah sebagai organisasi yang sudah kenyang asam garam permasalahan negeri, ia hadir memberi solusi dan tidak pernah melakukan manuver politik praktis untuk menduduki posisi tertentu. Persyarikatan mampu menjaga khittahnya seabad lebih, tidak silau terhadap kekuasaan dan jabatan. Muhammadiyah mampu mandiri, terbukti dengan banyaknya amal usahanya yang semuanya hadir berkat semangat dan perjuangan warganya dari akar rumput hingga pucuk pimpinan. Kalaupun ada kader yang sukses dalam karir politiknya, mereka tak lupa akan ‘kulitnya’. Namun mereka berangkat dari ‘kendaraan politik’ yang mereka pilih, tanpa melibatkan Persyarikatan dalam meraup dukungan.
Muhammadiyah dapat menjadi ‘oposisi’ bagi kekuatan politik dan kekuasaan yang ada, menjadi alternatif pikiran dan solusi bagi bangsa. Maka, membawa Muhammadiyah ke ranah politik praktis merupakan hal yang kurang tepat, karena secara politik, Muhammadiyah sudah memiliki tempat di hati masyarakat. Secara politik praktis, Muhammadiyah mampu menjaga jarak dengan baik. Jadi, ketika ada kader Muhammadiyah yang berkarir politik, mari kita dukung mereka dari manapun partai yang ia pilih. Mendukung secara pribadi dengan tidak menyeret nama organisasi ke dalamnya.
Mari kita menjaga Muhammadiyah dari pusaran politik praktis, namun tetap mendukung seluruh kader yang berkarir dalam dunia perpolitikan. Karena mereka (kader) akan membawa dakwah syi’ar Persyarikatan dalam langkahnya di jalur yang dipilih. Dengan menjaga Muhammadiyah dari politik praktis, tidak menyeret ke dalamnya, maka khittah perjuangan Muhammadiyah akan tetap terjaga. Toh Muhammadiyah memiliki kemandirian dan posisi yang strategis di dunia politik, tidak memburu jabatan bahkan ditawari pun terkadang enggan, sebagaimana Prof. Abdul Mu’ti beberapa waktu yang lalu.
Maka Muhammadiyah akan tetap terjaga dari pusaran politik dan kekuasaan, kalaupun ada kader yang berkarir melalui parpol apapun sudah seharusnya kita dukung secara personal, bukan secara organisasi dengan mengarahkan kepada partai atau seseorang tertentu. Karena mereka berangkat dari partai politik, sedangkan Muhammadiyah bukanlah organisasi politik.
Secara organisasi Muhammadiyah sering sekali memberikan pengaruh terhadap sebuah kebijakan karena posisinya yang strategis, apalagi Persyarikatan turut serta membangun bangsa sejak sebelum kemerdekaan. Mungkin akan banyak mereka yang sependapat dengan mengusung Persyarikatan ke dalam ranah politik praktis tidak sepakat dengan tulisan ini, namun kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan juga Muhammadiyah.
Anggap saja ini sebuah kritik dan harapan agar Persyarikatan tidak jatuh ke pusaran politik praktis dengan dukung-mendukung calon atau parpol tertentu. Sehingga Muhammadiyah tetap memilih jalan jihadnya melalui jihad konstitusi dan kebangsaan, bukan jihad politik praktis. Kalau pun ingin masuk ke dalamnya, baiknya membuat partai atau membangun kekuatan melalui parpol yang ada. Bukan menumpang nama organisasi, untuk kepentingan jabatan dan posisi. Jadi, perlukah Jipolmu?.