Muara pendidikan adalah pada bagaimana memanusiakan manusia dalam artian menjadikan manusia berketuhanan, sekaligus menjadikan manusia dapat hidup layak di dunia. Dari sini sebenarnya ada dua hal yang harus digerakkan oleh Pemerintah untuk membentuk manusia utuh ini, yakni peran Ketuhanan dan peran keduniaan. Peran ini menurut hemat penulis, tidak harus diperankan langsung oleh Pemerintah tetapi melalui regulasi, good example dari Pemerintah harus dilakukan termasuk kesalahan-kesalahan praktik Pemerintah dalam menjalankan pendidikan ini. Berikut penulis uraikan alternatif solusi persoalan pendidikan ini, dengan mengacu pada esensi pendidikan tersebut dan dalam rangka menjawab program nawacita Presiden Joko Widodo.
Pertama, jika memang Pemerintah pusat serius menangani persoalan karakter bangsa ini maka sistem Ujian Nasional (UN) harus dihapus, dan menguatkan peran Pemerintah Daerah dalam menjaga kualitas pendidikan Indonesia. Cukuplah Pemerintah pusat memberikan regulasi yang jelas kepada sekolah agar standar pendidikan tetap terjaga. Dengan demikian, maka kreatifitas dan inovasi akan muncul dari Pemerintah Daerah dan sekolah.
Lalu yang kedua, Pemerintah perlu mendorong sekolah mengoptimalisasi jargon karakter di sekolahnya masing-masing. Jargon tersebut harus membumi, artinya seluruh warga sekolah secara sadar memahami dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sehingga jargon itu menjadi nuansa kehidupan sekolah. Sebenarnya hal jargon ini bukanlah sesuatu yang baru, sudah ada sekolah dan daerah yang menggunakan jargon. Semisal jargon sekolah BERIMAN (bersih, indah, mandiri), Otak Amerika Hati Serambi Mekkah, dari Sini untuk Indonesia dan Peradaban Dunia, Siapa yang Bersungguh-sungguh Akan Tercapai Usahanya, Senyum Salam Sapa, dan lain sebagainya. Hanya saja tidak banyak yang sudah menerapkan jargon itu dalam kehidupan sehari-hari dengan baik.
Kemudian yang ketiga, penguatan sosok tokoh panutan di setiap sekolah untuk memberikan contoh nyata kepada peserta didik. Tokoh panutan biasa menjadi ikon sebuah sekolah. Dulu pendidikan pesantren, semisal seorang kyai bisa menjadi ikon karena kealimannya, ketokohanya. Tokoh sekolah ini harus mampu membawa ritme siswa sehingga terbentuk sebuah karakter yang diinginkan. Tokoh ini bisa jadi dari kepala sekolah atau dari guru senior yang mempunyai kredibilitas tinggi, baik di sekolah maupun di masyarakat. Sehingga saat orang tua memilih sekolah untuk anaknya tidak berdasarkan gengsi, melainkan karena ada sosok guru yang dapat dipercaya untuk mendidik.
Keempat, dekatkan anak dengan tempat peribadatan. Hal ini harus disinergikan dengan Pemerintahan terkecil, RT/RW misalnya. Harus ada sebuah sistem yang holistik untuk mengarahkan anak-anak kita dekat dengan tempat peribadatan, karena tempat ibadah adalah sarana pembentukan karakter yang luar biasa. Transformasi nilai dari para sesepuh atau tokoh masyarakat, akan mudah ditularkan dari tempat ibadah. Jadi tidak perlu repot-repot mengundang, misalnya, para ustadz ke sekolah.
Kelima, pembiasaan makan bersama di keluarga. Mungkin ini hal sederhana tapi ada cinta yang besar jika ini bisa dilakukan. Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudyaaan, telah sukses menghimbau masyarakat untuk mengantar putra-putrinya di hari pertama sekolah. Menurut informasi tanggal 18 Juli 2016 lalu, ada sekitar 30 juta orang tua mengantar putra-putrinya ke sekolah. Nah, Pak Menteri Muhadjir Effendy bisa melakukan hal yang sama positifnya dengan menghimbau para orang tua makan bersama anak-anak, mereka untuk menciptakan hubungan harmonis dalam keluarga. Ini hal sederhana, namun mampu menghasilkan hal luar biasa.
***
Kalau kita cermati isu pendidikan karakter sebenarnya bukan isu baru dan bukan semata program nawacita, program andalan Presiden Joko Widodo. Pendidikan karakter merupakan produk konstitusi yang harus dijalankan oleh pemangku jabatan bangsa ini. Sebenarnya jika para pejabat negara dapat mengedepankan kepentingan rakyat, bukan semata kepentingan proyek negara, saya yakin persoalan pendidikan karakter dapat diselesaikan meskipun tanpa gagasan Full Day School.
Gagasan yang disampaikan Muhadjir bisa jadi bagus, namun bisa juga ahistoris. Gagasan itu bisa dianggap baik karena mengusung semangat menyelesaikan persoalan hubungan anak dan orang tua, terutama di perkotaan, yang renggang dan kurang komunikasi karena kesibukan orang tua. Dengan Full Day School, kurangnya perhatian orang tua terhadap anak diharapkan akan mendapatkan pengganti dari perhatian guru. Anak juga mendapat aktivitas lebih terkontrol melalui beragam kegiatan di sekolah. Tapi apakah alasan itu cukup untuk menjadi dasar menerapkan Full Day School dan menjamin tercapainya pendidikan karakter pada anak didik?
Di sisi lain, gagasan Full Day School itu bisa jadi ahistoris. Karena sesungguhnya pendidikan karakter sudah bergaung sejak 2003 ketika UU Sisdiknas No. 20 diundangkan. Dalam UU itu dijelaskan bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah untuk membentuk peserta didik agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara. Kalau kita cermati pada UU tersebut kekuatan spiritual keagamaan menjadi prioritas pertama tujuan pendidikan di Indonesia.
Bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan karakter ini. Sepeti yang disampaikan oleh Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh, bahwa manusia yang dicipta di dunia mempunyai peran ganda. Pertama peran sebagai hamba Tuhan. Peran manusia sebagai seorang hamba ini tercermin pada semua agama yang ada. Semua agama mengajarkan agar manusia mengenal Tuhannya dan kembali kepada-Nya. Sementara peran yang kedua adalah peran di muka bumi ini. Setiap manusia mempunyai peran merawat dan melestarikan dunia dengan sebaik-baiknya, untuk itu manusia perlu tahu bagaimana caranya hidup dalam kehidupan di dunia ini. Karena adanya peran ganda tersebut, manusia membutuhkan pendidikan agar manusia dapat mengenal Tuhannya sekaligus tahu cara menjalankan kehidupan dalam konteks keduniaan.
Akhirnya, persoalan karakter adalah persoalan bersama Bangsa. Baik buruknya masa depan Bangsa ini, ditentukan oleh baik buruknya generasi saat ini. Jika Pemerintah dapat menciptakan regulasi bermutu dan masyarakat merespon serta menjalankan dengan baik, maka tidak mustahil Indonesia bakal lebih optimis menjawab tantangan masa depan. (*)
Penulis : Rifma Eli Susanti (Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya)