Pembelajaran merupakan aktivitas belajar mengajar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik. Proses belajar menjadi satu kesatuan dalam pembelajaran. Sistem pembelajaran terdiri dari beberapa komponen yang saling berinteraksi hingga diperoleh interaksi yang efektif.
Komponen pembelajaran terdiri dari peserta didik (siswa), pendidik (guru), bahan pembelajaran, kurikulum, strategi, media, evaluasi, tujuan dan lingkungan pembelajaran. Seluruh komponen pembelajaran tersebut saling sinergi untuk membentuk pembelajaran yang berkualitas. Pembelajaran yang berkualitas harus dapat memberikan efek positif bagi peserta didik dan lingkungan.
Tidak jarang hasil dari pembelajaran hanya sebatas meningkatkan pengetahuan saja, namun belum dapat meningkatkan sikap menuju akhlaqul karimah, lebih-lebih pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Oleh karena itu perlu dirumuskan model pembelajaran yang tidak hanya meningkatkan ranah pengetahuan (kognitif) saja, namun juga ranah afektif dan psikomotorik. Ketiga ranah tersebut dikenal dengan taksonomi Bloom.
Taksonomi Profetik dalam Pembelajaran
Tulisan ini memfokuskan pembahasannya pada taksonomi profetik dalam pembelajaran. Profetik berasal dari bahasa Inggris dari kata prophetic yang berarti kenabian. Kata kenabian berasal dari bahasa Arab dari kata nubuwwah.
Sedangkan taksonomi profetik merupakan desain pembelajaran yang menjadikan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik teraktualisasi dalam perilaku hidup sehari-hari. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam tidak hanya cukup dimaknai sebagai aktivitas transfer pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan harus dimaknai lebih dari itu yaitu menerapkan ajaran Agama Islam melalui perilaku hidup sehari-hari.
Pemikiran ini terilhami dari firman Allah SWT yang berbunyi:
كَبُرَ مَقۡتًا عِنۡدَ اللّٰهِ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا مَا لَا تَفۡعَلُوۡنَ
Artinya: Sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. As-Saff Ayat 3).
Pendidikan Agama sebagai Penghidupan Nilai-Nilai Agama
Berdasarkan ayat diatas, maka pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah seharusnya dapat menghidupkan nilai-nilai islam dalam bentuk perilaku yang islami. Sehingga pendidikan agama itu bukan sekedar teori yang disampaikan oleh guru kepada siswa dibalik gedung sekolah saja, tetapi menjadi spirit yang hidup bersamaan dengan kehidupan/peradaban masyarakat.
Siswa yang telah mengikuti Pendidikan Agama Islam akan mencerminkan pola hidup yang berakhlaqul karimah sesuai dengan misi kenabian:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).
Hadits diatas memberikan inspirasi bagi para pengelola pendidikan bahwa akhlak seharusnya menjadi hasil akhir atau muara dari sebuah proses pendidikan. Pernyataan tersebut memiliki relevansi dengan tujuan pendidikan nasional.
Pada pasal 3 undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 yakni : Berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Rekonstruksi Pembelajaran PAI dari Tekstual Menuju Kontekstual
Sumber belajar Pendidikan Agama Islam secara tekstual yakni Al Qur’an dan Hadits. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena kedua kitab tersebut sebagai pedoman hidup bagi seorang mukmin.
Bagi seorang mukmin sumber ajaran Islam diposisikan sebagai petunjuk/sumber inspirasi dalam bertutur dan bertindak sehingga menuntun dirinya untuk berkepribadian yang qur’ani. Demikian pula dengan pembelajaran PAI, guru PAI idealnya menjadikan Al Qur’an dan Hadits sebagai sumber belajar dan sumber inspirasi bagi dirinya maupun bagi siswanya.
Fakta yang terjadi dilapangan, saat guru PAI menyampaikan materi atau melangsungkan proses belajar mengajar seringkali cenderung tekstual. Ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits tersebut belum maksimal untuk dieksplorasi dalam fakta kehidupan.
Konsep pembelajaran tekstual akan mengarahkan peserta didik menjadi kesulitan dalam menemukan antara apa yang ia pelajari dengan apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan mereka. Padahal jika kita memaknai belajar, belajar itu merupakan proses memperoleh pengetahuan baik yang bersumber dari buku (tekstual) maupun kehidupan (kontekstual).
Bukan Tranformasi Pengetahuan Melainkan Tranformasi Nilai
Menurut Slavin, belajar merupakan proses perolehan kemampuan yang berasal dari pengalaman. Berdasarkan pengertian tersebut maka hendaknya guru PAI dapat melakukan rekonstruksi pembelajaran dari yang bersifat tekstual menuju kontekstual, agar apa yang dipelajari oleh siswa selaras dengan pengalaman kehidupan.
Dalam dokumen Kurikulum 2013, PAI mendapatkan tambahan kalimat “dan Budi Pekerti” akhirnya menjadi Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, sehingga dapat dimaknai sebagai pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, serta keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agama Islam.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti merupakan sebuah mata pelajaran yang tidak hanya melakukan transfer of knowledge (transformasi ilmu pengetahuan) dari guru ke siswa saja, melainkan juga transfer of value (transformasi nilai), Islam harus hidup dalam perilaku sehari-hari.
Seorang muslim yang memiliki spiritual paripurna (insan kamil) adalah seorang muslim yang mampu menghidupkan nilai Islam dalam kehidupannya, mampu mentransformasikan nilai teks kedalam nilai konteks. Sebagai contoh: pada saat umat Islam membaca QS. Al ‘Ashr, maka ia tidak hanya mahir membunyikan surat tersebut dengan tartil melainkan juga mampu menjelmakan dirinya menjadi pribadi yang disiplin, menghargai waktu, mampu memanfaatkan waktu secara produktif, dsb.
Editor: Amanat Solikah
BACA: Pembaca PIJARNEWS.ID Menulis