Sungguh, tak ada rasa empati pada korban bencana yang menimpa saudara kita di Nusa Tenggara Barat (NTB). Rival politik Jokowi menuding bencana itu akibat ulah Jokowi. Bahkan di media sosial, dukungan terbuka TGB pada Jokowi disebut sebagai penyebab bencana itu.
Penilaian tak masuk akal itu akibat matinya nurani. Tertimbun naluri kemanusiaan, sehingga tak kuasa berpikir jernih. Bahkan penilaian bencana sebagai bagian dari azab Tuhan kian menegaskan matinya lentara spritual keimanan dalam dirinya.
Rasanya, tidak ada orang yang mengaku beriman pada Tuhan, demikian tega menilai, bahkan mengutuk korban bencana itu akibat azab, bahkan dikaitkan dengan kepemimpinan yang dianggap dikutuk Tuhan. Kenapa harus pola seperti ini yang dipraktikan dalam dunia politik saat ini. Penilaian itu sungguh ungkapan yang meniadakan hadirnya Tuhan dalam dirinya.
Kontestasi politik dalam meraih kekuasaan dilakukan dengan berbagai cara. Agama seringkali diseret dalam ruang politik semata-mata dijadikan alat untuk menguntungkan salah satu kandidat dan merugikan kandidat yang lain.
Akal sehat dan nurani kemanusiaan tumpul dan visi kebangsaan menjadi buram lantaran nafsu berkuasa sudah membutakan nuraninya. Separah itukah nalar dan nurani elit politik negeri ini yan seringkali berteriak NKRI harga mati.
Tidak adakah cara yang lebih elok dan elegan untuk membangun citra dirinya sebagai politisi yang memihak dan merakyat, atau justru model kampanye hitam yang bisa dilakukan agar lawan tanding dalam panggung kontestasi politik terjungkal dari gelanggang kekuasaan. Tentu kita prihatin kepada elit politik yang menjadikan musibah kemanusiaan itu sebagai ladang meraih simpati publik.
Beredar luas di ruang publik pernyataan Tuan Guru Bajang (TGB) yang mengatakan Jokowi seperti Nabi Ayyub dengan dipertegas dukungannya kepada Jokowi untuk melanjutkan kepemimpinanya sampai dua periode menyebabkan gempa di NTB. Berita itu cepat beredar dalam ruang media sosial yang tak terkendali. Masyarakat yang tidak simpatik kepada TGB dan Jokowi tanpa melakukan klarifikasi bahkan mengkritisi berita tersebut langsung menyebarluaskan di media sosial.
Kita tidak bisa membayangkan, lantaran haus kekuasaan nurani kemanusiaan tertimbun. Rasionalitas dalam memahami agama sirna. Bahkan duka lara yang menimpa sauadara kita di Lombok Nusa Tenggara Barat diabaikan. Musibah apapun yang terjadi dan menimpa masyarakat NTB, yang salah tetap Jokowi. Lantas di mana akal dan hati kita berada? Padahal agama mengajarkan dan menuntun kita agar selalu berbaik sangka.
Meminjam bahasa Amin Abdullah yang mengatakan bahwa carapandang dalam beragama harus dirubah. Selama ini pemahaman beragama yang selalu tampak adalah agama sebagai landasan dan pembenaran untuk menghakimi. Jika ada saudara kita yang mengalami musibah, agama diseret dan dijadikan dalil bahwa musibah yang terjadi karena ulah manusia itu sendiri. Tuhan pun dijadikan pembenar bahwa Tuhan melaknat hambanya yang ingkar.
Sesadis itukah kita memahami agama. Bukankah Tuhan memiliki sifat kasih dan sayang. Kasih sayang Tuhan itu melampaui dan menembus batas dari perbuatan kita, baik yang baik dan tercela. Oleh karena itu, agama penghakiman harus berubah menjadi agama cinta, simpati dan empati kepada manusia. Agama cinta yang hanif harus dijadikan ajaran dan pijakan kita dalam beragama. Sehingga tak sekadar asyik bercinta dengan Tuhan, tetapi buas dan sadis kepada mahluk Tuhan yang bernama manusia.
Gus Dur juga menegaskan bahwa dalam beragama yang harus dikedepankan adalah agama yang ramah, bukan agama marah. Jika ada orang yang mengaku beragama, tetapi suka marah-marah, maka perlu dikoreksi dalam memahami agama. Kesantunan dan keramahan menjadi jantung dalam beragama.
Beragama sejatinya semakin mendekatkan kita kepada manusia. Itulah akhlak dan tatakrama Nabi yang dicontohkan kepada umatnya. Misi kenabian yang pertama kali diajarkan adalah untuk memperbaiki akhlak sosial umatnya, bukan persoalan ibadah kepada Tuhan.
Tentu tidak elok di tengah tetesan air mata para korban bencana para elit politik menunggangi dengan cibiran kebencian lantaran dukungan TGB kepada Jokowi (Republika.10/8) TGB menanggapi isu itu sebagai kecacatan dalam keimanan, bahkan TGB menegaskan bahwa semua yang terjadi sudah menjadi ketetapan Allah. Takdir baik dan buruk itu menjadi ketetapan Allah.
Menggunakan isu agama dalam ranah bencana sungguh mencerminkan perilaku yang tidak beradab. Azab, kutukan yang dialamatkan kepada masyarakat di Nusa Tenggara Barat menjadi contoh buruk dalam perilaku beragama. Politisasi agama dalam bencana tak bisa dimungkiri hanya untuk memprovokasi masyarakat agar tidak memilih Jokowi dalam pemilihan Presiden tahun 2019 nanti.
Bukan hal baru, politisasi agama dalam ruang politik sudah mengemuka sejak dulu. Munculnya perimordialisme agama karena dilatari kepentingan politik tertentu. Dalam hal ini ganti Presiden menjadi isu utama agar bencana alam yang melanda Indonesia tidak terjadi terus menerus.
Itulah yang dikemukakan oleh Mohammad Supriyadi dalam bukunya Bassam Tibi The Challenge Of Fundamentalism: Political Islam and The World Disorder. Tibi menegaskan bahwa perimordialisme dalam ruang politik semata-mata untuk menipu pemahaman dan pengetahuan keagamaan.
Propaganda dan dokrin yang keliru diekspresikan keruang publik. Dengan demikian masyarakat mempercayai bahwa musibah yang menimpa masyarakat di NTB sebagai dampak dari perbuatan TGB yang mendukung Jokowi dua periode dalam memimpin Indonesia.
Sejatinya, tanpa melihat siapa pemimpinnya di republik ini, lebih arif dan bijaksana memaknai bencana sebagai musibah kemanusiaan. Apapun agamanya, siapapun Gubernur dan Presidennya, musibah yang menimpa saudara kita di NTB perlu bantuan dan uluran tangan kita semua. Partai politik boleh beda, agama boleh beda, pilihan presiden boleh beda, tetapi menempatkan musibah kemanusiaan di atas segalanya menjadi niscaya.
Abdus Salam
Penikmat buku. Spesialis Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Wakil Direktur di Kedai Jambu Institute dan berhikmad menjadi Wakil Ketua Bidang Politik Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur
Tulisan ini diambil dari Geotimes.co.id