Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pernyataan yang disampaikan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan, bahwa 86% koruptor adalah alumni perguruan tinggi bahkan di atas S-1, ada pula yang sudah S-3. Para koruptor ini pernah mengeyam pendidikan di perguruan tinggi negeri atau swasta yang tersebar di Indonesia, bahkan di luar negeri.
Hal ini menunjukkan, koruptor mengenyam pendidikan tinggi tetapi tidak menerapkannya dalam tindak tanduk berperilaku. Ini juga menguatkan pemahaman, bahwa uang dapat membuat orang berpendidikan tetapi uang tidak mampu membeli perilaku maupun moral seseorang. Pencapaian akademik tidak menjamin sebagai indikator kualitas personal.
Kasus suap penerimaan mahasiswa baru yang menimpa Rektor Universitas Lampung (Unila), seakan mempertegas hal tersebut. Pimpinan kampus yang sudah memiliki titel Profesor, ternyata tidak menjamin akan bebas korupsi. Padahal sering kita ketahui bahwa perlu pencapaian yang tidaklah mudah untuk menjadi seorang Profesor. Selain harus memiliki penelitian dan kualitas akademik yang mumpuni, menjadi Profesor juga haruslah sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Hal ini membutuhkan waktu yang tidaklah sebentar, bahkan ada ungkapan kalau menjadi Profesor di Indonesia lebih sulit daripada masuk surga. Yang patut untuk diawasi adalah institusi perguruan tinggi. Perguruan tinggi sebagai pencetak sarjana, harus melakukan fungsinya dengan baik dan benar. Kita sering mendengar, kalau perguruan tinggi sekarang hanya seperti menjadi peternakan sarjana.
Peter Flemming pernah menulis sebuah karya yang berjudul “Dark Academia: How Universities Die” (2021), telah terjadi sebuah pergeseran orientasi perguruan tinggi yang dulunya dikenal sebagai pusat pengetahuan dan pusat peradaban. Namun seiring perkembangan zaman, universitas turut terseret dalam arus Neoliberalisasi yang mengikuti perkembangan zaman sehingga pada akhirnya membuat perguruan tinggi lebih tertarik mengejar statistik daripada substansi.
Mahasiswa, dosen maupun pegawai lainnya tak ubahnya sebagai konsumen yang menjadi tumpuan utama institusi dalam memperoleh keuntungan. Sehingga untuk mengejar untung, pihak pengelola institusi meningkatkan system manajerial institusi yang mengakibatkan fungsi seorang dosen turut mengalami pergeseran. Yang dulunya sebagai seorang ilmuan, pada akhirnya dituntut untuk patuh dalam sistem manajerial yang berbasis mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pemerintah sebenarnya tidaklah abai terhadap masalah ini, terbukti sekarang revisi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sedang bergulir di DPR, walaupun banyak pertentangan. Dalam bernegara, sebuah keputusan lalu timbul pro kontra sudah menjadi hal biasa. Undang-Undang (UU) 20/2003 tentang Sisdiknas yang sudah berumur 19 tahun sedang direvisi. Nantinya revisi UU Sisdiknas ini bakal melebur tiga UU menjadi satu. Selain UU Sisdiknas itu sendiri, juga UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen serta UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Dua UU terakhir ini berkaitan erat dengan pendidikan tinggi yang juga mencakup mengenai Sumber Daya Manusia (SDM) dosen. Seringkali yang kita jumpai adalah, adanya PNS non dosen yang menjadi dosen. Di regulasi disebutkan bahwa PNS non dosen jika ingin menjadi dosen, maka akan mendapatkan Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) bukanlah
Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) dengan status sebagai dosen tetap dengan perjanjian kerja.
Faktanya yang terjadi di lapangan bukanlah demikian, jauh panggang dari api. Penulis menemukan fakta ini di sebuah perguruan tinggi swasta di kota Madiun di Provinsi Jawa Timur. Ada Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang ‘nakal’ dengan melakukan manipulasi agar PNS non dosen dapat NIDN. Hal ini dilakukan agar terpenuhinya laporan ke Pemerintah terkait rasio dosen — mahasiswa. Institusi perguruan tinggi menjadikan laporan itu sebagai beban, bukanlah sebagai kewajiban.
Jika menjadikan laporan sebagai beban, sudah barang tentu segala hal akan dilakukan, bahkan manipulasi laporan sekalipun. Di institusi Perguruan Tinggi Swasta, kualitas SDM juga patut diperhatikan. Jenjang akademik, jabatan fungsional harus diurus dan diperhatikan oleh pihak institusi pendidikan. Jangan sampai orang yang tidak memiliki rekam jejak akademik yang mumpuni malah dipilih menjadi pimpinan. Bayangkan saja, apabila pimpinan institusi yang hanya memiliki rekam jejak sebagai tata usaha tanpa memiliki jabatan struktural lainnya. Lalu tiba-tiba ditunjuk menjadi Rektor, lalu bagaimana institusi itu bisa punya atmosfir akademik yang mumpuni?
***
Hal ini patut diperhatikan selain masalah kesejahteraan. Padahal Perguruan Tinggi Swasta ini bernaung di bawah organisasi yang sudah besar dan terkenal karena kontribusinya di bidang pendidikan, sosial maupun kesehatan. Institusi pendidikan tinggi menjadi kawah candradimuka, sehingga apabila institusi pendidikannya sudah keluar dari koridor. Maka induk organisasi atau yayasannya tidak bisa lepas tangan. Kasus suap yang terjadi di Unila membuat Kemendikbudristek tidak bisa lepas tangan.
Begitu pula kasus yang terjadi pada PTS di Madiun, induk organisasinya tidak bisa juga lepas tangan. Hal ini perlu mendapat perhatian dari segala pihak, Pemerintah maupun unsur swasta. Pada hakikatnya, berpendidikan tinggi merupakan berkah yang belum tentu semua orang bisa menikmatinya. Jika hasilnya dimanfaatkan dengan baik, maka segala hal akan menjadi berkah dan bermanfaat. Sebaliknya, jika hasilnya tidak dimanfaatkan dengan baik, akan mendatangkan hal tidak baik seperti manipulasi maupun tersandung kasus hukum lainnya.
Ini ibarat pisau bermata dua, bisa mendatangkan kebaikan dan juga keburukan. Pernyataan KPK di atas, lalu fakta bahwa masih ada institusi pendidikan tinggi melakukan manipulasi, merupakan sekelumit permasalahan yang menegaskan bahwa berpendidikan tinggi memang seperti pisau bermata dua. Pencapaian akademik tidak menjamin sebagai indikator kualitas personal. (*)
Penulis: Muhammad Rifa’at Adiakarti Farid (Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial, UMMAD, Pengamat Kebijakan.)