Setahun terakhir, dunia dihebohkan dengan munculnya virus mematikan bernama corona virus disease (covid) 19. Sampai detik ini, virus yang hampir menyebar ke seluruh negara itu belum ditemukan obatnya. Pemerintah baru menyediakan vaksin untuk menambah kekebalan tubuh agar covid-19 tidak menyerang tubuh kita.
Di sisi lain, penyebaran yang tak kunjung mereda ini diselingi gelombang ketidakperacayaan masyarakat terhadap covid-19. Banyak fakta di lapangan, bahwa pasien yang meninggal dengan vonis covid-19, sengaja di-covid-kan oleh pihak rumah sakit. Cerita ini bermunculan dari berbagai daerah.
Akurasi data serta hasil diagnosa yang sahih, dipertanyakan masyarakat. Bukan alibi bahkan represi oleh satgas dan aparatur negara, seperti polisi dan tantara, untuk membungkam dan melegitimasi vonis dokter rumah sakit. Seperti dalam berita https://www.merdeka.com/peristiwa/keluarga-pasien-covid-19-laporkan-rumah-sakit-di-tasikmalaya-ke-polisi.html.
Tentu banyak kisah yang beranekaragam dari masyarakat yang keluarganya dinyatakan covid-19 oleh rumah sakit. Padahal hasil swabnya belum keluar oleh pihak yang memiliki otoritas, tetapi pasien sudah terlanjur di-covid-kan -. Dan pada gilirannya, pihak korban dirugikan secara sosial karena stigma buruk yang melekat bagi keluarga korban.
Sejak munculnya kasus covid-19 varian baru di Kabupaten Kudus dan Kabupaten Bangkalan, publik disuguhkan dengan berita mengenai melonjaknya warga yang terpapar covid-19. Padahal, pemberitaan mengenai covid-19 sudah mulai meredup. Tetapi munculnya varian baru itu semakin menegaskan bahwa pandemic seolah enggan hengkang dari bumi pertiwi ini.
Jumlah orang yang meninggal covid-19 terus mengalami peningkatan. Sebagaimana dilansir lama https://covid19.go.id/ per Selasa (23/20216), jumlah pasien positif mencapai 1.989.909 orang, jumlah pasien sembuh 1.792.528 orang, dan pasien meninggal 54.662 orang. Alih-alih percaya, masyarakat justru acuh tak acuh dengan kondisi tersebut.
Pandemi covid-19 dianggap rekayasa negara, politisasi elit politik, bahkan ekstremnya covid-19 sebagai ladang bisnis yang menguntung kaum elit yang berselingkuh dengan kaum pemodal, sehingga oknum pejabat tetap memelihara tren kenaikan covid-19 untuk bancakan bantuan sosial.
Politisasi Pandemi dan Korupsi
Boleh tidak percaya, bahkan menilai covid-19 sebagai rekayasa dan politisasi untuk kepentingan politik tertentu, tentu tak ada yang melarang. Faktanya banyak yang meninggal lantaran covid-19. Tentunya kita mafhum, di samping rendahnya pemahaman masyarakat mengenai virus tersebut, deretan fakta yang disuguhkan oleh elit pejabat tidak mencerminkan keseriusan dalam upaya penanganannya.
Negara dinilai masyarakat tidak adil. Terbukti, kerumunan dibiarkan, tetapi mudik dilarang. Pengajian dilarang, tetapi konser musik mendapatkan izin. Pasar rakyat ditutup, sementara mal sebagai simbol kapitalis terus buka. Fakta itulah yang melahirkan sikap acuh dan apatisme masyarakat.
Bahkan covid-19 dinilai sandiwara belaka. Data dan aturan seringkali bertolak belakang dengan fakta. Kebijakan negara seringkali menguntungkan elit dan pengusaha. Sementara orang miskin “dibunuh” sercara perlahan-lahan. Bantuan sosial yang sejatinya untuk kebutuhan masyarakat kecil pun tak luput dari bajingan-bajingan koruptor.
Perilaku korup sudah menjadi watak penguasa. Terbukti dana bansos yang dikorupsi menurut peneliti Indonesian Corruotion Watch (ICW) Kurnia Ramadhana pada jawapos.com, Selasa (15/6/2021), diduga mencapai Rp 2,7 triliun. Bahkan menurut penyidik senior KPK Novel Baswedan, korupsi bansos covid-19 mencapai Rp 100 triliun.
Politisi tuna moral ini justru tak punya empati, demi memperkaya dan memuaskan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Tak peduli bantuan itu untuk meringankan beban ekonomi orang miskin, tetap disikat. Modus operandinya pun beragam. Yang lumayan terang benderang tentu kasus eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari P. Batubara yang memotong anggaran bantuan sembako.
Entah sampai kapan perilaku koruptif ini tetap tumbuh subur di Indonesia. Perangkat hukum yang ada untuk menjerat mereka, pun acapkali dicari celahnya. Seolah-olah mereka tak lagi takut dengan hukum di negeri ini. Di tambah lagi polemik di tubuh KPK, seperti menegasikan semangat perlawanan pada korupsi. Bahkan oleh presiden sekalipun. (*)