Langit cerah Kota Kediri berangsur berganti mendung. Hujan rintik-rintik telah membuyarkan impian untuk menikmati romantisme potret matahari yang tenggelam dengan latar belakang lalu lalang kereta api Brawijaya. Meskipun demikian, kedai kopi itu tetap ramai dikunjungi anak-anak milenial, anak-anak Genji yang sedang “healing” atau sedang mengerjakan tugas pekerjaan atas dasar “work from anywhere”. Atau memang sedang menghilangkan kegalauan hati yang sedang gundah.
Kafe indah yang masih bau mebel baru, menambah daftar kehadiran kafe baru di kota ini. Bertaruh dan berharap kehadiran bandara Kediri akan berdampak pada meningkatnya warga kerah putih hadir membanjiri warga kota. Tata letak ruangan, desain meja dan kursi, bahkan sampai pada temaram lampu, menunjukkan kafe ini memang berkelas. Dapat dipastikan warung itu didesain oleh arsitek profesional – entah apakah ada di kota ini, atau harus dikerjakan oleh arsitek ahli dari ibukota.
Atau arsitek yang tinggal di antah berantah dunia dengan menjual jasanya lewat layanan desain online, yang pemesannya hanya tahu dari kode-kode digital serta rekam jejak digitalnya. Bukankah alumni SMA-SMA Kediri banyak yang melanjutkan studi arsitek di perguruan tinggi ternama di ibukota? Tentu tidak susah mencari mereka, apabila mau. Tetapi dunia memang sudah berubah lebih susah mencari anak kita yang sedang bermain daripada mencari jasa arsitek yang diperlukan.
Meng-andai-andai kebutuhan modal yang diperlukan, setidaknya tidak kurang dari 3 milyar dana diperlukan untuk mendirikan kafe senyaman itu. Maknanya, kafe ini harus dapat menjual produk dan layanannya setidaknya 30 juta Rupiah per hari. Kalau tidak, tidak ada satu bank pun yang mau mendanai proyek ini. Atau ini memang hanya obsesi para orang tua tajir untuk bisnis anaknya, daripada mereka berantem gara-gara cemburu sama pacarnya? Entahlah.
Ditengah hujan rintik ini, di ruang teras cafe, sedang asyik bercengkerama 4 gadis milenial dengan wajah penuh glowing, diiringi asap vape mengepul, bercampur deraian gelak tawa disana sini. Bisa jadi mereka sedang meeting bersama client mereka untuk men-deal proyek kreatif mereka di kota ini. Kadang timbul tanda tanya, apa industri kreatif mereka? Kadang juga ada tanda tanya nakal, apakah mereka kenal Muhammadiyah? Atau bahkan mereka alumni SMK Muhammadiyah? Entahlah pikiran liar harus segera disudahi. Pesanan sudah sampai, layarpun harus segera ditutup.
**
Jalanan pinggir kota Kediri ini mulai ramai, sejak kampus IAIN membangun gedung-gedung baru. Hiruk pikuknya sangat terasa. Rumah kos tumbuh pesat dimana-mana, lapak sederhana es teh jumbo 3 ribuan, berdampingan dengan lapak nasi kuning 5 ribuan, ada lagi cimol, semua tumpah ruah menjadi satu di jalanan sempit ini.
Tidak jauh dari dari pandangan, para pengais sampah, berebut di lahan pada TPS (Tempat Pembuangan Sementara) Pasar Grosir, abai dengan bau yang menyegat, lalat dimana-mana, serakan sampah adalah keberkahan tersendiri.
Ditempat ini, di jalan ini mereka bersama para mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, bersatu padu dalam iklim bhineka tunggal ika yang sangat manis membentuk warna lain warga Kota Kediri baru.
***
Tanpa tanda-tanda sebelumnya, tiba-tiba Bapak Presiden marah besar karena program sodetan Kali Ciliwung mangkrak selama 6 tahun. Dan Alhamdulillah dalam jangka waktu 1,5 bulan, masalah pembebasan lahan telah kelar. Ternyata penjabat pilihan Bapak Presiden benar-benar dapat bekerja sat set, thas thes. Media masa arus utama maupun media arus pinggiranpun segera mendapat “berkah” membanjirnya berita, sambil menilik-nilik, mengais-ngais catatan jejak digital, kapan dan siapa yang sebenarnya yang menyebabkan kemandegh-kan program itu yang membuat banjir jakarta tidak kunjung selesai.
Belum usai warga disuguhi dengan berita proyek banjir kanal, warga sudah disuguhi lagi hiruk pikuk janji-janji Pemilu Gubernur yang baru diungkap. Satu berita belum selesai, lagi-lagi berita “aneh-aneh” muncul kembali, anak pejabat pajak yang super kaya, menganiaya anak petinggi ormas, Kapolda yang mengganti sabu dengan tawas, dan seterusnya dan seterusnya…. Bising….
Jakarta memang serba bising. Sudah susah membedakan mana yang benar, mana yang salah. Mana fakta mana opini. Mana pro rakyat, mana pro cukong. Mana yang tulus, mana yang cuma pengikut setia sang pemilik ekor. Barangkali ada benarnya, kalau Bapak Presiden menggagas perpindahan ibu kota agar dapat mengurangi kebisingan hidup Jakarta, sehingga Presiden bisa tetirah untuk menghasilkan keputusan yang “genuine” untuk memecahkan permasalahan bangsa. Jangan sampai warga bangsa banyak yang “kesambet” sehingga mengambil keputusan dengan cara-cara yang tidak rasional .
Dengan dihuni oleh puluhan etnis, puluhan industri, dengan belasan aras politik, beban Jakarta memang berat. Membangun kota Jakarta bak membangun istana pasir. Saatnya air laut pasang, selesailah bangunan indah istana itu. Barangkali ini pula yang memaksa Muhammadiyah harus membagi beban kantor pusatnya menjadi 2, karena harus memimpin puluhan PWM, ratusan PDM, ribuan PCM dan AUM dan ortomnya di se-antero Indonesia.
***
Dalam babak kehidupan, perceraian adalah proses yang selalu menyakitkan. Memupus harapan, kekecewaan, rasa pedih, cemas dan perasaan sakit lainnya. Demikian juga bagi Lee Kuan Yew. Perkawinan yang dia gagas antara bangsa Malaysia dan Singapura harus kandas dalam waktu yang pendek. Federasi Malaysia Singapura harus tutup buku hanya setelah 2 tahun bersatu. Bulan madupun harus berakhir.
Sadar bahwa pemimpin harus berada pada garda depan yang memberi harapan pada rakyat, kegalauan hati Lee muda dia kubur habis-habisan. Dia harus tampil percaya diri bahwa Singapura tidak mati hanya gara-gara bercerai dengan Malaysia. Dia harus memberikan harapan kepada rakyatnya, bukan malah melunturkan semangatnya, sikap sederhana yang saat ini menjadi mahal ditemui di belahan bumi tetangga.
Sadar bahwa kekayaan yang dimiliki hanya penduduk, dengan luas area kecil dan sumber daya alam yang minim, Lee menginvestasikan besar-besaran anggaran negara pada dunia pendidikan. Bila saat ini reputasi institusi pendidikan di Singapura berada papan atas dunia, posisi ini tidak datang dengan tiba-tiba. Dia lahir “by design”. Dengan reputasi institusi pendidikan Singapura yang tinggi, menjadikan tenaga kerja Singapura dapat diandalkan. Ujungnya menjadikan kepercayaan perusahaan asing untuk membangun pusat bisnisnya di Singapura menjadi terbuka.
Dari langkah strategis tersebut, membawa Singapura mencatatkan kenaikan PDB 12 kali lipat dari tahun 1965 hingga 2013. Pendapatan rata-rata masyarakat Singapura tumbuh dari 500 Dolar AS pada 1965 menjadi 55.000 Dolar pada 2015. Untuk nilai Global Competitiveness Index, Sinagpura menempati no 2 dunia (WEF, 2014-2015). Singapura juga langganan ditahbiskan sebagai negara terbaik untuk melakukan bisnis versi The Economist Intelligence Unit.
Angka lainnya? Tingkat kematian bayi di Singapura telah menurun jauh dari sebelumnya 27,3 kematian per 1.000 kelahiran pada 1965 mejadi 2,2 kematian per 1.000 kelahiran pada 2013. Angka harapan hidup penduduk Singapura: 83,2 tahun menempati Singapura pada rangking 5 dunia. Sementara tetangga sebelah, Indonesia angka harapan hidup 72 tahun, terendah di ASEAN, dan hanya sedikit lebih baik dari Timor Leste dan Papua Nugini.
Bila saat ini Singapura menjadi kekuatan penentu ASEAN dalam ekonomi, bisnis, militer, bahkan menuju budaya, maka jangan lupa semua prestasi ini dimulai dari perencanaan yang matang. Tidak silau atas prestasi yang sesaat, publikasi, tidak perlu harus menjadi Presidensi G20, mereka berjuang penuh perencanaan dalam sepi dan diam tetapi bergerak rapi. Menata shof dengan baik.
***
Persyarikatan Muhammadiyah Kota Kediri adalah Persyarikatan dengan skala cakupan lingkup yang kecil, hanya memiliki 3 PCM dan 36 PRM, bahkan bila dibandingkan dengan PDM sebelah, PDM Kabupaten Kediri. Dengan struktur yang kecil tersebut, barangkali PDM Kota Kediri hanya setara dengan gabungan PCM Pare, PCM Ngadiluwih dan PCM Gurah. Dibandingkan dengan PDM Kabupaten Kediri yang memiliki PCM puluhan, tentu tidak mungkin PDM Kota Kediri memiliki pengaruh pada keputusan yang lebih tinggi berdasarkan pada jumlah suara. Di tingkat PWM, apalagi tingkat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Tetapi tentu dunia tidak berakhir ketika kita kalah dari satu sisi, kita dapat “menang” pada sisi yang lain. Belajar dari Singapura, kita harus dengan tenang, dingin dan sistematis membangun keunggulan kita pada bidang yang lain. Memperkuat amal-amal usaha barangkali sebuah alternatif yang mungkin dikembangkan. Bila AUM-AUM yang ada memiliki kualitas yang tinggi, tidak tertutup kemungkinan PDM Kota Kediri punya pengaruh dalam percaturan pergerakan Persyarikatan Muhammadiyah yang lebih luas.
Saatnya AUM-AUM yang ada tidak hanya menjadi sumber biaya (cost center), saat nya AUM-AUM yang ada menjadi pusat pendapatan (profil center) PDM. Hanya dengan ini peran Muhammadiyah Kota Kediri dapat diperhitungkan, PDM Kota dapat dengan gagah membawa panji-panjinya setiap saat. Dan tidak harus setiap sambutan Ketua PDM, terselip kata terima kasih berkali-kali hanya pada satu institusi dengan intonasi yang berharap mendapat bantuan kembali.
Saatnya operasionalisasi PDM diambil dari sisian hasil-hasil usaha AUM-AUM yang dimiliki. Saat kita meniru Singapura, cukup satu PDM tapi dengan seribu AUM. Dan dengan ini pula mudah-mudahan dinamika perbedaan pendapat di PDM Muhammadiyah Kota Kediri dapat menjadi lebih berkualitas.
Selamat bermusyawarah (*)
Penulis : Sudarmono Moedjari (Pemerhati Teknologi dan Budaya, Warga Muhammadiyah Kota Kediri)